Curug Bentang : Bertualang ke Tempat Tujuh Cakra Sunda

Curug Bentang selain indah, ternyata kaya akan mitos. Konon air terjun itu tempat di mana Presiden Pertama RI Soekarno bertemu Nyi Ror...


Curug Bentang selain indah, ternyata kaya akan mitos. Konon air terjun itu tempat di mana Presiden Pertama RI Soekarno bertemu Nyi Roro Kidul dan meminta bantuannya untuk menyelamatkan Indonesia dari serangan musuh.

Setiap tempat di Jawa Barat memiliki cerita rakyat atau lebih dikenal dengan legenda. Percaya atau tidak itu urusan belakangan, yang penting bisa menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan.

Seperti di Curug Bentang yang terletak di Desa Adat Banceuy, Subang, Jawa Barat menyimpan jutaan cerita mitos. Padahal jika kita melihatnya dari sisi pemandangan alam, Curug Bentang merupakan tempat paling tepat untuk melarikan diri dari kebisingan Ibukota, sebab tempatnya tersembunyi dan amat sangat jarang orang datang ke sana. 

Menurut bahasa, Curug memiliki arti air terjun sedang Bentang adalah bintang atau gugusan bintang. Secara terminologi Curug Bentang merupakan air terjun tempat pantulan cahaya bintang-bintang dari langit. Jika dilihat pada malam hari, air terjun ini akan berkilauan layaknya bintang-bintang di langit.

Curug Bentang ada kaitannya dengan kisah Tangkuban Parahu, dan Gunung Burangrang selain itu curug ini juga berdekatan dengan Desa Adat Banceuy yang terkenal dengan cerita Raden Syaikh Jamaluddin akrab disapa Aki Leutik atau Kakek Kecil disebut Leutik atau Keil karena tubuhnya hanya sebesar biji dan mampu masuk lewat lubang jarum.

Air terjun ini juga dikaitkan dengan kisah Bung Karno, lantaran presiden pertama RI itu kerap mengunjungi Curug Bentang untuk mencari ilmu kenegaraan lewat ajaran Padepokan Prabu Siliwangi yang berada di Subang dan untuk meminta bantuan Tuhan lewat perantara Nyi Roro Kidul dalam menyelamatkan Indonesia dari serangan musuh. Nama Curug Bentang ini bukan diambil secara asal, ada sejarahnya, konon Presiden Soekarno mendapatkan tujuh cakra sunda dari bintang di langit saat bersemadi di tempat itu.

Konon, air terjun itu dijaga oleh tujuh bidadari yang menjelma sebagai ular besar dengan sisik terbalik. Ke tujuh bidadari itu yang menjaga Bung Karno saat melakukan samadi di Curug Bentang. Hingga saat ini, air terjun tersebut masih dijaga oleh tujuh ular dan juga Aki Leutik.

Mitos lainnya adalah di dasar air Curug Bentang dipercaya terdapat harta karun melimpah dan jika diambil bisa melunasi hutang-hutang Indonesia. Namun, belum ada orang yang berani menyelam ke dalam air tersebut, karena tidak mengetahui seberapa dalam air tersebut. Dari cerita rakyat setempat, ujung airnya menyambung ke Laut Pantai Selatan dan dekat dengan kerajaan Nyai Roro Kidul.

Mendengar cerita rakyat itu, banyak masyakarat dari berbagai wilayah datang untuk melakukan ritual-ritual seperti yang dilakukan Bung Karno. Tujuannya tak lain, untuk mendapatkan kekayaan, pertolongan agar terhindar dari marabahaya oleh penguasa air terjun yakni Nyai Ratu Timun, Kembang Kendis, Klenting Jawa, Nyai Masayu Purbaningrum, Ambar Laweh, Melalur Ayu dan Semiluh Taman.

Tak ayal, saat mengunjungi air terjun Bentang ini, terdapat bekas sasajen di kiri dan kanannya. 


Menuju Lokasi

Saat menuju lokasi Curug Bentang, sepanjang jalan akan menemui jalanan berbatu penuh pasir dengan kontur menanjak dan menurun. Dari jalan Ciater menuju Desa Banceuy sekira 10 hingga 15 km lebih dan bisa dilalui menggunakan sepeda motor. Namun, untuk menuju ke dalam curug, kita harus berjalan kaki kurang lebih satu jam dari atas gunung ke bawah, sebab letaknya di bawah kaki gunung.

Saya dan kawan dari Bandung, sempat nyasar ke beberapa tempat. Karena, mencari Desa Adat Banceuy yang terpencil, kira-kira kami bertanya kepada warga sekitar sebanyak empat kali dan akhirnya bertemu dengan Desa Adat Banceuy. 

Ternyata, dari Desa Adat Banceuy, perjalanan tidak berjalan mulus, kami masih tetap tersasar hingga Desa Sanca kemudian bertanya lagi kepada warga sekitar. Beruntung, kawan saya warga asli Bandung, saat bertanya tak begitu kesulitan, karena bahasa mereka sama. 

Setelah diberitahu warga ihwal akses jalan menuju Curug Bentang, kami mendapatkan jalan alternatif. Ya, saking alternatifnya, sampai adrenalin saya diuji, karena, jalanan menurun sangat curam dengan batuan tajam serta pasir. Kemudian bertemu lagi dengan jalan menanjak yang sangat terjal, saya hampir putus asa, tertinggal jauh dengan teman saya karena tidak berani untuk melewati turunan curam itu. 

Matahari sudah tidak bersahabat, cuaca panas membakar badan saya namun angin membuat badan yang berkeringat kembali segar saat berteduh di bawah pohon. Pada saat saya berhenti, tidak ada satu orangpun yang melintas, hanya ada sawah, hutan di kiri dan kanannya. Ingin kembali pulang rasanya, karena kawan saya itu meninggalkan saya tanpa mempedulikan ketakutan yang bergelayut di diri saya. 

Mungkin, dia melakukan itu untuk membuat saya melempar jauh-jauh perasaan takut atau tidak mampu. Pasalnya, pada saat terdesak manusia kecil bisa jadi raksasa dan mampu membalikan gunung dengan jemarinya. 

Alhasil, saya memberanikan diri, dengan bekal doa, saya akhirnya menuruni jalan itu. Satu masalah usai dilewati, masalah selanjutnya hadir dan lebih besar. Saya melihat sebuah jalanan menanjak cukup tinggi sekira 10 meter mungkin lebih. Melihat jalan itu, saya tak berhenti menelan ludah, sambil membaca doa saya mulai menggas motor dengan sekuat tenang. Beruntung, motor yang saya pakai adalah motor bebek, dengan memainkan gigi motor tanjakan penuh batu itu berhasil dilampaui dengan apik, meski motor sempat ngadat sebentar.

Saya menghadapi jalanan curam seperti itu sebanyak tiga sampai empat kali. Ternyata, masih ada masalah yang begitu menghebohkan, yakni melewati jalan setapak yang di kiri dan kanannya adalah jurang menggunakan sepeda motor. 

Rasanya ingin menangis, kesal, lelah, lapar menggelayuti pikiran saya. Mungkinkah saya bisa melampaui jalanan itu? lagi, kekuatan doa menyelamatkan saya dan bisa melewatinya tanpa ada rasa takut. 

Setelah melewati itu semua selama satu jam lebih, kemudian kami melihat pohon bambu besar yang menghalangi jalan. Dari balik bambu itu terdapat gapura usang bertuliskan Curug Bentang, kondisinya sangat tidak terawat.

Satu meter dari gapura itu terdapat bangunan-bangunan gubuk mungkin sebelumnya, tempat ini merupakan tempat wisata yang sangat terawat. Namun, ketika kami mengunjungi tempat itu sangat sepi dan hanya kami berdua yang berada di sana.  

Daun bambu kering menjadi alas jalan kami sepanjang jalan, sebetulnya jalan ke Curug Bentang ada jalan setapak yang sudah disemen warga untuk memudahkan masyarakat turun ke air terjun. Tetapi, saat ini, semen-semen itu sebagian sudah retak. Alhasil, kami memarkirkan motor di atas jalanan semen itu dan menuruni jalan dengan berjalan kaki.

Karena jalan menuju curug menurun, kami bisa melampauinya sekira setangah jam sampai 45 menit dengan beristirahat sejenak sambil mengabadikan curug dari atas.


Seperti biasanya, untuk menghilangkan rasa lelah, saya membuka baju dan bertakbir sekeras mungkin dari atas gunung untuk bersyukur kepada Allah karena perjalanan panjang kami mencapai titik akhir. Air sungai yang begitu dingin meski panas matahari seperti menyayat-nyayat kulit seperti memberikan kami relaksasi.

Berendam kurang lebih satu jam di dalam air tanpa berenang ke tengah air. Sebab, mitos masyarakat setempat membuat kami takut dan urung melakukan hal-hal aneh di tempat paling disakralkan oleh Adat Banceuy itu. Terlebih, tidak banyak orang tahu seberapa tinggi air sungai di Curug Bentang, sempat ada yang uji coba dengan mengukurnya dengan pohon bambu setinggi 30 meter lebih namun belum juga mentok ke dasar air.

Usai mengabadikan surga tersembunyi di Subang itu, kami akhirnya bergegas pulang. Sebelum pulang saya menyempatkan diri untuk berwudhu untuk menyegarkan kembali badan.


Pulang Nyasar ke Sumedang

Setelah menuruni gunung dengan cepat menuju curug, pulangnya kami harus mendaki gunung besar. Bagi yang sering merokok, mungkin akan ngos-ngosan karena jalannya sangat menanjak, meski di kiri kanan pohon rimbun tetap saja keringatan. 

Mungkin, selama kurang lebih satu setengah jam kami mendaki dengan berhenti beberapa kali. Nafas megap-megap, jantung berdebar kencang, keringat mulai bercucuran, kepala mulai pusing, rasa haus hebat datang, rasanya minum satu botol air mineral saja kurang. Apalagi tas yang berisi pakaian membuat perjalanan begitu berat dan melelahkan.

Tiba di atas, kami merebahkan diri di atas tumpukan daun bambu yang dinaungi pohonnya untuk menghilangkan rasa lelah. Kemudian melanjutkan perjalanan pulang untuk ke tempat-tempat wisata lainnya yang jarang dijumpai orang.

Keluar dari Desa Adat Banceuy, kami tersasar, bukan malah menemukan jalan raya seperti yang awal kami lewati justru masuk ke hutan-hutan rimba. Kami tak berhenti bertanya, kepada warga sekitar dan akhirnya menemukan Indomaret pertanda kami sudah keluar dari desa. 

Di dalam minimarket itu, kami membeli sejumlah makanan dan minuman untuk mengisi tenaga. Kebetulan ada penjual jus buah, kami pun membeli segelas untuk menyegarkan badan yang kelelahan. 

Teman saya dengan bahasa sundanya bertanya kepada penjual jus buah tentang arah jalan menuju Bandung. Ternyata, bukan jalan besar Ciater yang kami lalui seperti awal mula kami menuju Curug Bentang malah menuju Sumedang.

Salah, memang salah bertanya kepada orang yang baru dua pekan tinggal di Subang. Kami berkeliling hingga melewati Sumedang, hampir menuju Majalengka dan Cirebon. 

Lantaran lelah di perjalanan karena tidak menemukan kawasan Ciater, kami berhenti disebuah rumah makan sunda dengan pemandangan yang begitu menawan. Istirahat makan dan bertanya lagi kepada pemilik warung tentang jalan menuju Bandung. 

Dia memberitahu kita harus melewati Citali, dari tempat kami lurus saja nanti keluar ke Ujung Berung lalu Bandung. Oh MY GOD! Ujung Berung, itu jauh banget!!! karena pemandangan sekitar sangat indah jadi kami jalan dengan perasaan bahagia. Sampai di Citali, ternyata kami menemui banyak kontainer dengan tekstur jalan yang kurang bagus, berdebu dan berbatu sebab ada pembangunan jalan.

Selama tiga jam lebih tangan dibakar matahari, panas, berdebu dan banyak sekali kontainer yang melintas. Harus ekstra hati-hati membawa kendaraan seperti motor saat melewat jalan itu. 

Akhirnya kami sampai di Bandung, dan urung untuk melanjutkan perjalanan wisata selanjutnya. Kami lebih memilih untuk beristirahat dan pergi ke tempat refleksi untuk meringankan otot-otot kaki yang kaku selama di perjalanan tadi.

Lewat perjalanan panjang itu saya mendapatkan banyak pelajaran, beberapa di antaranya saya harus mampu ikut melestarikan dan menjaga alam semesta dari tangan-tangan jahat, harus lebih banyak bersyukur lagi kepada Allah SWT, harus lebih bisa melawan hawa nafsu, bisa mengendalikan emosi, harus bisa melewati masalah dengan baik lewat bantuan doa bukan malah lari dari masalah, serta harus lebih bersabar lagi karena Tuhan punya cara unik untuk membuat kita bahagia setelahnya.


0 komentar: