Sanghyang Tikoro : Menyentuh Tenggorokan Tuhan di Bumi Pasundan

Dahulu kala, Kota Bandung merupakan danau purba yang menyimpan banyak kekayaan alam di dalamnya. Salah satunya Sanghyang Tikoro atau da...


Dahulu kala, Kota Bandung merupakan danau purba yang menyimpan banyak kekayaan alam di dalamnya. Salah satunya Sanghyang Tikoro atau dalam bahasa sehari-hari memiliki arti Tenggorokan Dewa karena bentuknya yang menyerupai kerongkongan manusia. 

Saya berkesempatan mengunjungi tempat paling fenomenal itu yang terletak di kawasan Waduk Saguling, Desa Cipatat, Cimahi, Jawa Barat. Ternyata Gua Sanghyang Tikoro memiliki kisah mengagumkan, dahulu kala Bandung itu danau purba besar dan airnya surut ke arah Sanghyang Tikoro ini.

Bisa menyentuh tenggorokan Tuhan di Bumi Pasundan tentunya membuat saya bangga. Mungkin, saya adalah orang ke sekian yang menginjakkan kaki di tempat paling misterius itu. Sesampainya di sana, tak ada kata lain selain mengucap syukur kepada Tuhan, karena telah memberikan kekayaan alam yang begitu indah.

Menurut cerita warga setempat, banyak orang yang berkunjung ke tempat itu, tidak hanya untuk berwisata saja namun bertapa atau semadi untuk melakukan ritual-ritual magis di sana. Beruntung, ketika saya mengunjungi tempat itu, cuaca sedang bersahabat dan air yang mengalir ke lubang menyeramkan itu tidak terlalu deras. Jadi bisa menikmati, keindahannya dari jarak dekat.

Sayangnya, Sanghyang Tikoro yang begitu magis itu, kini berubah. Airnya sangat bau, karena tepat di samping sungainya terdapat penambangann batu besar, konon banyak penambang tewas di sana namun tidak diekspos. Sehingga membuat sungai Sanghyang Tikoro terlihat begitu angker.

Menuju Lokasi

Setelah melihat foto-foto dari akun instagram teman, saya berniat untuk mengunjungi tempat itu. Tanpa bertanya kepadanya, saya menyempatkan diri untuk mencari tahu alamat dan juga cara menempuh tempat itu. Setelah menuliskan kalimat Sanghyang Tikoro yang muncul adalah kisah-kisah mistis di dalammnya. Mulanya, saya urung untuk melakukan perjalanan namun karena tekad sudah bulat ke tempat itu alhasil saya berangkat sendirian menggunakan sepeda motor. 

Tepat pukul 07.00 WIB, dari tempat kosan di kawasan Gatot Subroto, tanpan berpikir panjang, saya langsung berangkat ke tempat wisata itu. Seperti biasa, orang baru di Kota Bandung rasanya kurang afdhol jika tidak nyasar ke suatu tempat dan bertanya ke banyak orang ihwal tempat yang akan dikunjungi. 

Ternyata dari Jalan Gatot Subroto menuju Waduk Saguling sangat ringan alias gampang. Saya hanya membutuhkan waktu sekira satu jam dari kosan, cukup lurus saja mengikuti jalan besar sambil melihat petunjuk jalan. Patokannya adalah, Desa Citatah, Cipatat, dan Desa Raja Mandala. Dari Cipatat hanya berjarak sekira 6 km akan bertemu sebuah pasar dengan gapura besar bertuliskan Waduk Saguling. 

Jarak tempuh menuju sungai Sanghyang Tikoro dari Bandung Kota, diperkirakan mencapai 30 hingga 40km atau satu sampai duajam perjalanan tergantung kondisi jalan dan seberapa cepat Anda membawa kendaraan. Setelah menemukan Desa Citatah, Anda akan disajikan dengan debu jalanan yang tebal, panas menyengat, dan ratusan truk kontainer pengangkut batu yang mengantri menuju pabrik. Iya, karena wilayah tersebut terkenal dengan produsen batu alam yang digerus dari gunung-gunung kapur dan batu di area tersebut. 

Di sisi jalan, Anda akan menemukan pemandangan paling tidak mengasyikan saat melewati jalan tersebut. Karena, hampir di sisi jalan terdapat pabrik pembuatan ukiran batu, dari marmer, kapur, batu alam hingga batu sedimen. Jalanannya pun cukup terjal penuh kelok, dan harus berhati-hati melewati jalan tersebut karena banyak pasir dan debu dari pabrik-pabrik batu alam itu yang bisa membuat Anda sakit mata atau terpeleset saat mengendarai motor.

Setelah bertemu dengan gapura itu, membutuhkan waktu sekira 10 hingga 15 menit menuju Sanghyang Tikoro (jika tidak nyasar). Patokannya adalah tempat pengeboran pusat power house di dekat gedung Waduk Saguling. Untuk mencapai lokasi, terdapat dua jalan pertigaan, untuk menempuh Sanghyang Tikoro pilihlah pertigaan kedua karena jaraknya lebih dekat menuju lokasi.

Bagi orang yang baru pertama kali ke Sanghyang Tikoro pasti akan bingung bagaimana cara menempuh sungai itu demikian halnya saya. Hampir setiap orang yang melintas saya tanya, bagaimana cara turun menuju sungai? pasalnya, ketika saya sampai lokasi tidak ada akses turun, hanya ada tangga batu menuju suatu tempat kosong yang di bawahnya merupakan sungai Sanghyang Tikoro. 

Saya penasaran dan ingin sekali turun ke bawah. Beruntung, badan saya kecil akhirnya bisa menyalip di sela-sela tangga itu untuk melompat ke dalam selokan besar tempat mengalirnya air dari hulu ke hilir dan bermuara ke sungai Sanghyang Tikoro. Tidak sampai di sana, saya harus menuruni batuan, tanah licin dan pohon besar untuk mengabadikan si tenggorokan dewa itu. 

Adrenalin saya diuji. Dalam hati berucap saya harus turun, karena sudah jauh-jauh dari Ibukota untuk menikmati pemandangan alam di Bandung, masa tidak turun. Tadinya ingin urung, karena rasa takut menyelimuti saya begitu besar, terlebih pada saat itu saya sendirian tidak ada satu orangpun yang datang karena berkunjung di hari senin.  
Rasa bangga terhadap diri sendiri bisa melawan rasa takut pada saat itu tak bisa tertuliskan. Saya bisa turun ke dalam gua besar itu, dan mengabadikan setiap sisi yang saya lihat. Setiap saya mengcapture semuanya, tak berhenti saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena sudah memberi saya kesempatan ke gua paling bersejarah di Bandung itu.

Tidak hanya bersyukur, saya juga tak berhenti-henti berdzikir, karena saya orang baru yang menginjakkan kaki di sungai tersebut. Karena, menurut mitos yang beredar, sungai yang tidak tidak diketahui ujungnya itu selalu meminta tumbal kepada siapapun yang datang ke sana. Pesannya adalah, kita tidak boleh sombong terhadap segala sesuatu, termasuk ke tempat-tempat seperti Sanghyang Tikoro. Jika kita terlalu sombong atau melakukan hal-hal aneh di sana akan terkena mara bahaya sepulang dari sana.

Saat itu, kondisi cuaca sangat panas menyengat dan bunyi pekerjaan berat dari gunung membuat saya tidak nyaman berlama-lama di Sanghyang Tikoro ditambah bau anyir menyengat dari air sungainya. Kemudian saya melanjutkan perjalanan selanjutnya mencari harta karun yang ada di bumi Pasundan. 

Ketika sampai di tempat parkir motor, terdapat sekelompok pecinta alam dari UIN Bandung, akhirnya saya bergabung dengan mereka untuk menuju tempat selanjutnya lewat rekomendasi mereka. Tanpa ragu, saya akhirnya melanjutkan perjalanan selanjutnya, yakni menuju Sanghyang Poek dan Sanghyang Heuleut.

Bagi yang suka bertualang, rasanya Anda harus mencoba merasakan sungai paling fenomenal dan menyeramkan, Sanghyang Tikoro!


0 komentar: