Melihat Bintang Jatuh ke Bumi dari Bukit Moko

Berada di 1442 meter di atas permukaan laut (MDPL), Bukit Moko merupakan tempat yang paling tepat untuk melihat gemintang bertebaran ...


Berada di 1442 meter di atas permukaan laut (MDPL), Bukit Moko merupakan tempat yang paling tepat untuk melihat gemintang bertebaran di langit dan juga yang tersebar di bumi.

Wisata ke Bandung, kurang afdhol jika belum mampir ke Bukit Moko. Masyarakat Kota Kembang biasanya menyebut Bukit Bintang, karena kita bisa melihat gemerlap bintang di langit dan lampu-lampu penduduk Bandung yang berwarna-warna seperti bintang.

Bagi penyuka fotografi, Bukit Moko sarana paling pas untuk menangkap momen naik dan turunnya matahari. Bulan purnama atau gerhana akan sangat dekat jika dilihat dari Bukit Moko. Apabila cuaca sedang bagus, hamparan pemandangan indah dan pegunungan yang menjulang tinggi menjadi latar belakang apik.

Waktu paling tepat ke Bukit Moko sejak pukul 15.00 WIB hingga 20.00 WIB. Selain bisa mengabadikan sunset, lampu-lampu rumah dan gedung di Bandung sedang cantik-cantiknya.

Selain menyaksikan pemandangan tersebut, mata kita juga akan dimanjakan dengan adanya pemandangan patahan Lembang yang ada di atas Bukit Moko. Untuk melihat patahan Lembang, kita harus berjalan kaki di Bukit Moko selama kurang lebih 30 sampai 45 menit atau lebih tergantung kemampuan.


Di atas Bukit Moko, kita akan disambut dengan hamparan puluhan ribu pohon pinus yang menjulang tinggi dan orang pacaran. Ops, hahaha memang benar, sebagian besar pengunjung Bukit Moko membawa pasangan, mungkin hanya saya yang pada saat datang sendirian. Pasalnya, belum sampai ke lokasi, hawa dingin sudah menelusup masuk ke dalam tulang. Saking dinginnya, rasanya tidak cukup memakai jaket, harus membawa pasangan agar tidak kedinginan di atas bukit. 

Tidak hanya orang yang berpacaran di sana, pecinta alam dan fotografi landscape dengan peralatan canggih mereka juga banyak. Mereka datang tak lain untuk camping dan mengabadikan momen sunset dan sunrise.

Mengunjungi Bukit Moko tidak seperti yang dibayangkan, harus manjat-manjat, mendaki tebing atau berjalan merayap-rayap. Di sana sudah jalanannya sudah di paving block, sehingga wisatawan dapat dengan mudah berjalan kaki dari tempat parkir ke atas bukit. Selain itu, juga sudah tersedia kamar mandi, mushalla, gasibu-gasibu dan juga tempat duduk di pinggir bukit untuk menikmati pemandangan alam Bandung.


Pada saat saya mengunjungi Bukit Moko, cuaca sedang cerah di sore hari. Namun sayang, pemandangannya kurang megah karena terhalang dengan asap kiriman dari Kalimantan dan Riau sehingga menutupi panorama puncak gunung yang tersebar di Jawa Barat dan matahari terbenam. Akhirnya saya memutuskan untuk memotret beberapa spot di dalam bukit dan hasilnya lumayan.

Meski datang sendirian, ternyata di atas Bukit saya bertemu banyak teman baru. Salah satunya, Pak Dudung ketua pengelola Bukit Moko. Perkenalan kami bermula ketika dia melihat saya sendirian duduk-duduk sambil merokok di bawah pohon pinus dekat pintu masuk. Kemudian, dia menghampiri saya untuk menawarkan diri memotret diri saya. Pak Dudung bertanya, mengapa saya datang sendirian? saya menjawabnya dengan santai, hanya ingin sendiri dan biasa ke mana-mana sendiri. 

Sepanjang di Bukit Moko saya ditemani Pak Dudung yang merupakan Kepala Desa di perkampungan Cimenyan. Dia menceritakan banyak tentang dirinya dan Bukit Moko itu sampai akhirnya menawarkan saya meminum kopi di kediamannya. 

Pak Dudung mengaku telah merawat dan melestarikan hutan pinus di atas Bukit Moko itu selama kurang lebih 20 tahun. Dengan bekerjasama dengan Perhutani dan Pemkot Bandung, alhasil Bukit Moko yang tadinya hanya hutan rimba menjadi tempat wisata. 


Setelah hampir tiga jam menghirup oksigen di Bukit Moko, saya akhirnya turun gunung dan mampir ke kedai kopi untuk makan, karena badan sudah tidak enak terlalu dingin perlu dihangatkan dengan kopi dan semangkuk mie rebus. Sekira 20 meter dari pintu masuk Bukit Moko ada sebuah kedai yang menjual makanan dengan cara voucher. Kita harus membeli voucher seharga Rp.25 ribu dan akan disajikan aneka makanan, berikut dua macam air.

Oiya, untuk masuk ke dalam Bukit Moko kita harus membayar sebesar Rp.10 ribu. Bagi yang ingin bermalam di sana, pihak pengelola menyediakan tenda berukuran besar dan kecil dari harga Rp.150 ribu hingga Rp. 250ribu. 

Mata saya dikejutkan dengan tampilan malam Bukit Moko. Makan malam terasa sangat nikmat lantaran sambil menyaksikan lampu-lampu Bandung yang satu persatu mulai menyala, dilihat dari Bukit Moko itu terlihat seperti gemerlap bintang dan sayang jika tidak diabadikan.


MENUJU Bukit Moko

Ada dua jalur menuju Bukit Moko, melewati Dago Pakar atau Jalan Padasuka. Karena saya baru pertama kali mengunjungi Bukit Moko, saya diberitahu oleh warga sekitar untuk mengambil jalan lewat Dago, di samping jalannnya sudah bagus dan lebih cepat sampai. 

Tapi ternyata, saya harus melewati jalan menuju Restoran Dago Pakar, kemudian Tebing Keraton ke atas lagi. Bukannya Bukit Moko yang saya dapatkan malah bukit gersang dan perkampungan warga. Maklum orang baru, nyasar merupakan nama tengah mereka. Akhirnya, saya bertanya kepada penduduk, seorang petani bilang lewat dua bukit lagi dengan jurang di kanan jalan.

Saya menelan ludah, karena saya sangat benci jalan turunan, berpasir dan berbatu, itu sangat berbahaya bagi yang tidak ahli membawa kendaraan roda dua manual. Hampir di setiap turunan saya meminta tolong mamang-mamang yang berada di bawah bukit untuk membantu saya menurunkan motor. 

Jalan yang saya lewati selama kurang lebih satu jam setengah itu hanya jalan setapak, dengan jurang di samping kanannya. Konon, banyak orang yang jatuh di sana jika tidak berhati-hati, mengingat jalan tersebut masih jelek penuh batu dan berpasir.

Pulangnya, saya memilih melewati Jalan Padasuka, dari Bukit Moko hanya tinggal lurus saja, tidak berkelok-kelok seperti awal mula saya mengunjungi Bukit Moko. Iya lurus saja dengan menuruni bukit, turunannya sangat curam, sedikit pencahayaan jalan, hanya lampu sorot dari kendaraan. Parahnya lagi, jalanan yang hanya berukuran 3 meter itu dua arah dan tidak ada pembatas jalan maupun penjaga jurang, jadi kalau kita tidak berhati-hati akan berbahaya.

Hikmahnya adalah, saya bisa melihat pemandangan alam Bandung yang begitu memesona. Saya diberi kesabaran yang begitu besar oleh Allah SWT dan pikiran dicerahkan bahwa setiap masalah itu pasti ada solusinya, kita mau menghadapinya atau malah balik arah atau kabur? tergantung kita. Ketika kita menghadapi masalah itu dengan baik, bersabar, ikhlas sambil meminta pertolongan kepada Allah SWT, kita akan mendapatkan kesuksesan, mendapatkan apa yang kita cita-citakan dan impikan.




0 komentar: