Memoar Si Tua Thariq

( Kisah ini fiksi belaka dan diadaptasi dari penangkapan seorang kakek yang diculik namun dia dipenjara karena kasus penipuan anaknya, Th...

(Kisah ini fiksi belaka dan diadaptasi dari penangkapan seorang kakek yang diculik namun dia dipenjara karena kasus penipuan anaknya, Thalib Abbas).

"Kakekku diculik, justru dia dipenjara. Pulangkan dia, aku merindukannya," Laila (15) cucu Thariq dari isterinya yang ke-tiga.

Kau tahu, kakekku memiliki banyak bidang tanah, begitu juga dengan jumlah isterinya. Setiap dia menginjakkan kaki di suatu wilayah untuk membeli tanah, kakekku selalu membawa pulang isteri. Kemudian memperkenalkan isteri barunya tersebut kepada isteri tuanya yang tinggal berdekatan di Jagakarsa. 

Menariknya, seluruh nenekku tidak pernah saling cemburu atau marah saat kakek Thariq membawa pulang isteri baru. Aku heran, bagaimana bisa itu terjadi? hati seperti apa yang mereka miliki? bukankah itu sakit, dikhianati oleh orang yang kita cintai?

Suatu ketika aku bertanya kepada nenek kandungku tentang 
perasaanya melihat pria tua berusia 79 tahun itu membawa isteri baru. Dia hanya menjelaskan bahwa itu merupakan bagian dari ibadah, tugasnya adalah menjadikan rumahtangganya harmonis, berlaku adil dan tidak menyakiti satu sama lain. 

"Itu gila, Nek. Kenapa nenek tidak meminta cerai saja dengan kakek, jika aku pada posisimu aku akan bunuh diri," kataku di kamar sambil merapikan tumpukan buku sekolah.

"Aku bisa saja melakukan hal itu, tapi tidak. Aku memiliki Tuhan, aku hanya bisa berdoa agar dia mendapatkan balasan dari Tuhan jika hal itu tidak baik untuk kami semua," jelasnya.

Mendengar pernyataan itu aku langsung terdiam dan sepertinya ingin menampar wajah nenekku agar dia sadar bahwa kalimatnya itu tidak benar dan terlalu pasrah. Aku ingin menyadarkan nenekku, dan nenek-nenek lainnya yang menjadi madu kakekku. 

Nenekku merupakan isteri kedua, dulu dia sempat tidak diinginkan oleh isteri pertama kakekku. Dia pernah dianiaya secara kejam dan membabi buta olehnya karena wajah nenekku jauh lebih molek dan usianya pada saat itu masih belia. 

Maryam, itulah nama nenekku, manis bukan? wajahnya saja cantik bak none Belanda. Namun, seketika buruk, karena cobek untuk mengulek cabai melayang tepat mengenai wajah cantiknya, dia mengalami luka memar dan tulang wajah nenekku retak, sehingga harus dioperasi besar. Walaupun terdapat bekas jahitan di sekitar dahi dan pelipisnya, senyum nenekku masih saja cantik, dia memiliki bibir seperti cabai rawit merah merona, kulit putih bersih, dan hidung kecil ciri khas orang Jawa Barat.

Mendapat perlakuan itu, Maryam tidak pernah melayangkan gugatan cerai kepada suaminya atau melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian. Yang dilakukannya setiap hari hanya berdoa kepada Tuhan, agar isteri pertama Thariq memaafkan tindakannya karena telah setuju untuk menjadi isteri kedua.

"Aku tahu, dia telah memiliki isteri, karena aku ingin bersamanya karena aku cinta jadi hal itu tidak aku lakukan," ceritanya.

Anak dari isteri pertama pria tua itu juga tidak menginginkan keberadaan nenek sehingga melakukan hal-hal bodoh kepada Maryam. Dari mencuri sejumlah perhiasan milik nenekku yang diberikan Thariq sampai mengelabuinya saat bertanya keberadaan kakek.

Aku tidak mengerti perasaan seperti apa yang digandrungi nenekku. Apakah dia dipelet kakekku, karena sedemikian cintanya kepada Thariq, entahlah. Mendengar cerita nenekku aku berpikir untuk mencekik leher pamanku itu, perbuatannya seperti setan, atau mungkin dia anak setan karena sifatnya jauh dari kakekku yang santun, penyabar, dan tutur katanya sangat baik. Mungkin, dia menuruni sifat ibunya yang kasar dan pandai berbohong.

Suatu ketika aku melihat pamanku memaksa kakek untuk menandatangani sesuatu yang tertera dalam secarik kertas. Aku mendengar mereka berteriak dan bertengkar, apa yang mereka lakukan dan perbincangkan tengah malam seperti ini.

Usai perdebatan itu kakekku meninggalkan rumah isterinya dan pergi ke rumahku untuk  beristirahat bersama Maryam. Setiba di rumahku, Thariq meminta Maryam untuk membuatkan segelas kopi dan memintaku membeli sebungkus rokok kretek.

Dia enggan menceritakan pertengkaran tersebut kepada nenekku. Sebab, kakek memiliki sifat tertutup, dia tidak pernah bercerita hal-hal negatif kepada nenekku, atau menceritakan kejadian yang telah dialaminya. Tapi, dia bukan pria lemah, Thariq merupakan pria tua yang tangguh, dan mampu menyelesaikan masalahnya sendirian tanpa bantuan orang lain bahkan dengan isteri-isterinya yang berjumlah empat orang itu.

Thariq pernah menceritakan alasannya menikahi banyak isteri, salah satunya dalam kondisi seperti ini empat isterinya diharapkan bisa meredam emosi dan memberinya ketenangan. Mungkin  jika Thariq hanya memiliki seorang isteri, bisa jadi saat ini dia sudah mati bunuh diri karena masalahnya sendiri. Untuk itu, Thariq membutuhkan banyak isteri untuk sejenak melupakan sikap isteri tuanya yang menjengkelkan itu. 

"Tidur di rumah nenekmu lebih membuatku tenang dibanding tidur di sana," kata kakek sambil mencubit hidungku dan menunjuk rumah isteri pertamanya yang hanya berjarak 10 meter dari rumahku.

"Pastinya, karena rumah ini dibangun oleh cinta dan sayang dari nenekku dan orangtuaku," jawabku.

Tawa kami pecah di dalam rumah, kakekku tampak bahagia dan betah di rumahku. Selain itu, dia juga tampak jauh lebih tenang dan merasa nyaman tinggal di sini, sebab setiap pagi kopi arabica selalu tersaji setiap hari berserta pisang goreng ternikmat yang dihidangkan dari tangan nenekku tanpa diminta.

Setelah menyeruput kopi, dan menghabiskan batang tembakau yang disalipkan di jemarinya, Thariq memceritakan bagaimana dia bertemu Maryam di Rangkas Bitung hinga akhirnya meyakinkan keluarganya untuk bisa menikah dan dibawa ke Jakarta bersamanya. Hingga akhirnya aku mengetahui, alasan Thariq menikahi Maryam, karena dia wanita cantik yang rajin beribadah dan juga taat kepada keluarga.

Hingga akhirnya mereka menikah, tanpa persetujuan isteri pertamanya itu. Sebelum tinggal berdekatan dengan keluarga isteri tua Thariq, mereka tinggal di Tangerang Selatan, mengontrak sebuah rumah petakan dan akhirnya tinggal di Jagakarsa, rumah Thariq.

Dari 20 cucunya, hanya aku yang dekat dengan kakek Thariq. Pasalnya, dua isteri mudanya menolak untuk tinggal berdekatan dengan isteri tua Thariq. Mereka bermukim di Bandung dan juga Tangerang, kakekku selalu berkunjung ke tempat mereka untuk sekadar menengok cucu serta memastikan keadaan semuanya baik-baik saja lantaran mereka tidak berani untuk mendatangi Thariq di Jagakarsa.

"Aku ingin ke Bandung besok, kau mau ikut?" tanya kakek kepadaku.

"Ikut!, aku akan membelikanmu oleh-oleh, Nek," seruku kepada Maryam.

Saat hendak berangkat, kakekku menolak memakai mobil pribadi. Dia menyewa mobil travel untuk memboyongku ke rumah nenek ketiga. Padahal aku berharap, kakek menyetir mobil antiknya dan aku bisa mendengarkan lagu-lagu kesukaanku selama perjalanan.

"Kalau naik travel kau bisa bertemu orang baru. Jika naik mobil pribadi duniamu akan sempit," terangnya.

"Baiklah," langkahku tiba-tiba lemah lantaran mengetahui kami akan naik travel menuju Bandung.

Dalam perjalanan perasaanku mendadak tidak enak. Entah apa yang menyelimuti hatiku saat itu, tiba-tiba langit mendung dan petir menyambar-nyambar seperti menghantam travel yang kami naiki sore itu. 

"Aku takut, kek," ujarku sambil memeluk tangannya yang bergelambir. 

"Jangan takut, itu hanya petir. Yang harus kau lakukan adalah berdoa bukan takut," katanya, menghiraukan kecemasanku.

.....Bersambung

0 komentar: