Viva Bayi Afrika Narapidana Termuda (2)

Sambung kisah sebelumnya... Tiba di Indonesia, aku dijemput Rob dan beberapa temannya dengan menggunakan minivan buatan Eropa. Sambil m...

Sambung kisah sebelumnya...

Tiba di Indonesia, aku dijemput Rob dan beberapa temannya dengan menggunakan minivan buatan Eropa. Sambil menggendong Viva dan memegang sebotol susu miliknya aku melangkahkan kaki ke dalam mobil. Rob menolongku untuk masuk, karena melihatku dan Viva sedikit susah untuk masuk kedalam mobil itu.

"Kau baik-baik saja?, aku khawatir dengan kau karena kau dan viva berada di dalam pesawat cukup lama." jelasnya di dalam mobil. 

Rob mengambil Viva, dan memeluknya penuh rindu. Sebulan di tidak melihat anaknya yang baru lahir itu karena lebih mementingkan hidup dan menjalin relasi di Indonesia tinimbang pulang ke kampung halaman. 

Aku menjelaskan kepada Rob, bahwa pada saat melahirkan Viva, aku berteriak memanggil namanya dan ingin memeluknya ketika tangis Viva pecah di dalam kamar rumah sakit berukuran tiga kali empat yang dihuni tiga orang itu. 

Mendengarkan kisahku, Rob menangis kemudian memelukku, dan meminta maaf karena tidak bisa mendampinginya di saat-saat sulit seperti itu. Aku menerima alasannya, namun jika mengingat hal itu, rasanya ingin membunuh Rob. 

Sebulan berlangsung kami melewati masa-masa bahagia bersama Viva, dia tumbuh menjadi bayi perempuan yang cerdas. Aku bahagia melihat Rob begitu mencintai anaknya,terlebih dirinya sendiri bahkan kepadaku. 

Dia tak malu memberikan susu atau menggantikan popok Viva di hadapan sahabatnya. Aku bangga memiliki Rob, meski aku mengetahui permasalahannya. Meski dia tak pernah memberitahuku, aku tahu semuanya. Semoga hingga Viva dewasa kami bisa hidup bersama, di Nigeria. 

#########

Surat kabar hari ini membuatku cemas, aku melihat sahabat-sahabat Rob ditangkap anggota buru sergap Imigrasi dan Polisi. Aku tidak tahu apa alasan yang sebenarnya mereka menangkap orang Nigeria. Tertulis dalam paragraf selanjut, bahwa teman-teman Rob kedapatan membawa narkoba jenis sabu dan beberapa di antaranya merupakan imigran gelap yang berprofesi sebagai pemain sepak bola ilegal.

Itu, itulah yang beberapa waktu lalu aku dengar saat mereka datang ke rumahku untuk pertama kalinya. Aku dengar perbincangan itu, suamiku tak diterima menjadi pesepak bola di Indonesia dan menjadi pemain ilegal karena memalsukan dokumen.

Sebab dari itu aku memilih melahirkan di Nigeria karena aku takut para polisi dan orang imigrasi merampas anakku. Aku sebetulnya ketakutan untuk kembali ke Indonesia karena izin tinggalku habis dan belum diperbaharui, terlebih pasporku belum diperpanjang ini akan merumitkan masalah.

Viva yang baru lahirpun tidak memiliki dokumen lengkap. Bagaimana bisa aku membuatkannya paspor sedangkan untuk melahirkan saja aku tidak bisa membayar seluruh biaya perawatan Viva yang dilahirkan secara tidak normal.

Untuk membeli susu formula saja aku berutang kepada kakakku, di Nigeria. Apalagi melihat kondisi Rob yang tidak memiliki pekerjaan tetap sebagai pemain cadangan ilegal di salah satu klub sepak bola, meski kuketahui dia mengajar di sekolah sepak bola, bukan sebagai pelatih tetapi mengajari anak-anak untuk pandai memilih klub.

Sebagai seorang isteri aku mengetahui kecemasan Rob, terlebih Viva sudah hampi menangis setiap malam entah apa yang menyebabkannya menangis histeris terus menerus. Aku bingung, matahari sudah hampir terbit tetapi Viva belum juga merampungkan tangisnya. 

Rob kesal dia membanting pintu dan keluar rumah untuk mabuk bersama sahabat-sahabatnya. Dia tidak menghiraukan tangisan Viva, bahkan kesulitanku untuk meredam tangis anaknya sendiri. 

Aku mengejar Rob sambil menggendong Viva, langkah kakinya yang sudah terlatih sebagai pemain sepak bola bak jaguar menyerbu mangsa begitu cepat beberapa detik saja bayangannya sudah hilang.

Aku memohon kepada Viva untuk berhenti menangis dan sambil meninabobokan dengan lagu-lagu Nigeria yang familiar di telinganya saat baru pertama dilahirkan. Ternyata itu berhasil meluluhkan Viva, dia berhenti menangis terpejam sambil sesegukan.

Akhirnya, kami berdua tertidur di ruang tamu dengan mata bengkak tepat pukul 05.00 pagi.

Viva terbangun mendengar suara adzan dan kembali menangis, aku memberinya asi dan dia terlelap kembali. Mungkin letih mengeluarkan air mata selama berjam-jam dan ditinggal ayahnya pergi.

########

Hari ini, Viva genap berusia dua bulan. Aku merayakannya sendiri dengan memberinya makanan sehat spesial untuknya, karena setiap hari dia hanya diberi bubur tanpa gula maupun garam. Kali ini aku memberinya potongan buah segar dan juga makanan kecil khusus untuk bayi seusianya.

Rob pulang ke rumah dan mendapati aku serta Viva sedang asyik bermain sambil menyuapi alpukat yang dicampur madu dari Nigeria. Tubuh Rob, bau alkohol dan dia langsung menuju kamar mandi kemudian tidur tanpa perasaan bersalah. 

Tepat pukul 15.00 beberapa orang datang ke residen kami tanpa permisi, mengetuk semua pintu tanpa salam atau basa basi. 

"Open the door," kata salah satu pria berbusana preman dengan name tag simbol penyidik dari Imigrasi.

Aku langsung membukakan pintu, dan mereka langsung merangsek masuk membongkar isi rumahku untuk mencari suatu barang yang tak aku mengerti.

"Hey, what are you doing in my house, get out from here," kataku bernada keras sambil menggendong si kecil Viva.

"Let me see your document," pintanya dengan mata melirik ke sana kemari sambil mencaritahu apakah ada benda aneh di rumahku atau tidak. 

Aku membangunkan Rob, dan dia terkejut banyak penyidik dan polisi berada di rumahnya. Kemudian, aku mengambil sejumlah dokumen keimigrasian di dalam tas dan menyerahkan kepadanya.

Ketakutan dan kecemasanku ternyata terjawab, ini yang aku khawatirkan tidak memeliki dokumen resmi dan juga semua dokumen keimigrasianku semua sudah kadaluarsa.

Mereka menggiringku keluar rumah dan memborgol tangan Rob. Kami dibawa ke kantor imigrasi bersama lima orang Nigeria lainnya, Rob yang pada saat itu masih sedikit mabuk, berontak dan mengamuk karena menolak dibawa ke kantor Imigrasi. 

Aku menenangkannya dan akhirnya kami setuju untuk dibawa ke kantor imigrasi. Kami tidak terpikirkan akan sejauh ini, hampir setahun aku tinggal bersama Rob di Indonesia tanpa ada gangguan kali ini kami diganggu oleh sistem pemerintahan. 

Di dalam mobil Viva tampak gusar dan menangis, ya karena mereka membawa mobil secara ugal-ugalan sehingga membuat bayi berusia dua bulan itu muntah dan menangis histeris.
"Hey, can you drive slowly, there is a baby here," teriak Rob kepada pengemudi itu. 

Seakan tidak mendengarkan permintaan Rob, mereka justru melaju dengan sangat kencang."Hey, are daft or stupid, be slow man," teriaknya lagi.

Kemudian, supir dari imigrasi itu memelankan laju kendaraannya. Viva langsung diberi susu agar tidak menangis terus. Setibanya di kantor Imigrasi, aku meminta bantuan salah satu wartawan untuk menggendong anakku karena ingin ke toilet untuk membuang air kecil.

Dia sangat baik, sudi membantuku memegang anakku. Dia memberiku makan dan minum, karena saat proses penangkapan kami memang belum makan. Wartawan itu juga memberi anakku minum dan bercanda dengannya, aku melihat Viva tertawa lepas dengannya, padahal selama dalam perjalanan dia menangis terus menerus.

Mereka akhirnya, menahanku bersama Viva dan juga Rob di kantor imigrasi. Karena, kami tidak memiliki dokumen yang lengkap dan dianggap sebagai imigran gelap.

Hingga akhirnya, kami dideportasi oleh keimigrasian Indonesia dan tidak diizinkan untuk kembali ke Indonesia. Mimpi indah hidup bersama Rob dan buah hati kami di Nigeria akhirnya terjawab sudah. Ini cara Tuhan mengembalikan kami ke tanah kelahiran kami.

Aku bersyukur, meski dengan cara yang pahit. Tetapi, aku bisa hidup bersama keluargaku di Nigeria juga bersama keluarga Rob dengan hidup seadanya dan memulai dari nol kembali di Niger.

(Kisah ini hanya fiktif belaka, semua peristiwa dalam cerita ini merupakan hasil adaptasi yang terinspirasi oleh berita kriminalitas. Semoga dapat memberikan kita pelajaran hidup ke depan)

0 komentar: