Viva Bayi Afrika Narapidana Termuda

(Kisah ini merupakan rekayasa belaka, alur cerita terinspirasi dari pemberitaan media massa) "Datang ke Indonesia memang bukan kei...

(Kisah ini merupakan rekayasa belaka, alur cerita terinspirasi dari pemberitaan media massa)

"Datang ke Indonesia memang bukan keinginanku, aku hanya mengikuti perintah suamiku datang ke sini," Vivi (26), warga Nigeria, di Setiabudi.

Sudah hampir setahun lebih, aku tinggal di negara yang bukan dari tanah kelahiranku. Di sini, aku tampak terlihat asing. Para wanita Indonesia, memiliki tubuh kecil dan kulit dengan warna yang membingungkan antara hitam atau putih. 

Aku menjadi imigran atas inisiatif suamiku, yang mendapatkan pekerjaan menggiurkan di Indonesia. Dia ditawari salah satu klub sepak bola ternama di Jakarta untuk menjadi bagian dari mereka. Tanpa berpikir panjang, dengan seribu janji suamiku menuruti tawaran mereka kemudian membawaku ke Indonesia. 

Pada saat tiba di Jakarta, usia pernikahan kami baru sepekan. Suamiku bersemangat memboyongku ke Indonesia dan menceritakan mimpi indahnya tinggal di sini."Kita akan membeli apartemen mewah, kau tahu? aku akan membelikanmu berlian dan kita akan membangun rumah di Niger dari hasil pekerjaanku," ungkapnya sambil memeluk tubuhku di dalam pesawat saat mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Tiga bulan kemudian, kami belum merasakan manisnya Jakarta. Orang yang menawari suamiku pekerjaan menjadi seorang pesepak bola mendadak hilang. Sahabatnya mengatakan, tidak mungkin untuk mengangkat suamiku ke dalam klub sepak bola, karena PSSI sedang bermasalah. 

Aku terkejut mendengar pernyataan itu. Sementara, aku harus memberitahunya bahwa tubuh ini sedang mengandung. Entah itu berita baik atau buruk baginya melihat kondisi kami seperti ini.

Sepekan setelah mendapatkan informasi itu, Rob menyuruhku untuk berkemas. Raut wajahku seketika bahagia, karena aku berpikir bahwa kami akan pulang ke rumah-Nigeria- dan aku langsung mengepak semua barang-barangku. 

Rob memanggil taksi berwarna biru dan aku menunggu dengan santai di depan rumah. Mobil sedan biru itu pun datang dan Rob memasukan semua barang-barang ke bagasi, aku duduk manis di belakang sambil membaca pesan singkat yang masuk ke dalam telefon genggamku.

Suamiku memang bukan tipikal orang yang gemar berbicara. Supir taksi yang membawa kami, tampak ketakutan melihat wajah Rob yang sangat kaku dan berkeringat seperti orang yang sedang diburu polisi. 

"Bapak bisa bahasa Inggris," tanyaku. Seketika Rob dan supir taksi bernama Burhan itu menengok ke arahku serempak. 

"Little little i can madam," kata Burhan sambil tersenyum.

"Where do you come from, i mean what island?" tanyaku.

"I am from Bekasi, madam, and you?," jawabnya.

"We come from Nigeria, Africa. You know Africa," ujarku.

"I don't know madam, i never go to out Indonesia," tambahnya.

"Your English works well, Man. Thanks for conversation," tutupku.

Logat Afro Amerika kental membuat Burhan membutuhkan waktu sekitar dua menit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Dalam hati, yang aku lakukan tadi agar Rob tidak terlalu tegang bahwa kami akan pulang ke Nigeria. Dia mungkin malu kepada orang tuaku yang telah membawa kami -aku dan janinku- ke Indonesia namun tidak membuahkan hasil. 

Selama hampir satu jam berada di dalam taksi dari Tanjung Priok menuju Setiabudi Jakarta Selatan kami tidak berbincang satu sama lain. Aku melihatnya tertidur sangat lelap dan tak berani membangunkannya saat di dalam taksi.

"Aku pikir kita akan pulang ke Nigeria," tanyaku.

"Tidak, kita bermukim di sini untuk beberapa saat ok!" jelasnya.

Dia tidak pernah sekaku itu kepadaku, ini sangat aneh. Aku ingin bertanya kepadanya, apa yang membuatnya seperti ini, apakah ini karena aku hamil? dan dia mengetahuinya kemudian merasa kesal kepadaku atau ada hal lain yang disembunyikan dariku. 

"Ada apa ini, kau membuatku takut," kataku.

"Tidak sayang, kita akan bertemu sahabat-sahabat kita dari Nigeria di sini. Tempat yang lama tidak membuatku nyaman karena orang-orang itu melihatku seperti iblis," jelasnya.

Kami tinggal di sebuah residen kecil cukup untuk memasak, dan tidur. Meski aku tak begitu nyaman dengan tempatnya, tapi apa boleh buat, aku harus menerima apa yang diberikan suamiku untukku.

Beberapa menit setelah kita sampai, beberapa orang-orang Nigeria, dan juga dari Afrika Selatan berkunjung ke rumah kami. Beberapa di antara mereka ada yang membawa sebotol wine, dan juga satu kerat kaleng bir untuk berpesta di tempat tinggal baru kami. 

Entah mengapa aku merasa tak nyaman dengan kedatangan mereka, perasaanku tidak enak dan urung untuk bergabung. Aku meminta izin kepada suamiku untuk beristirahat sebab perjalanan panjang tadi membuatku lelah. 

Dari dalam kamar aku mendengar perbincangan mereka, ada yang membuatku tidak nyaman dengan pembicaraan tersebut. Aku hanya bisa menutup telinga dan berusaha tidak mendengar apa-apa, ini baik untuk janinku dan diriku sendiri. Aku membuat segelas coklat panas dan mengambil sebuah buku karangan Orhan Pamuk untuk memancing saraf mataku untuk terpejam. 

Rob membangunkanku dengan menciumi leher dan pundakku. Kemudian dia memintaku untuk melakukan hal paling romantis saat semua tamunya telah pergi. Aku tersenyum dan mengambil sesuatu di dalam tas tanganku.

"Babe, i am pregnant," ungkapku sambil menunjukkan testpack di hadapannya.

Dia langsung memeluk erat dan menangis bahagia. Rob memang pendiam tapi dia pandai melakukan hal-hal romantis dan pria bertubuh besar legam itu sangat sensitif dalam segala hal. 

Aku bahagia, akhirnya bisa memberitahunya bahwa aku mengandung. Perasaanku lega, setelah melihatnya seharian dengan raut wajah ketakutan dan cemas. Dia ternyata tidak marah kepadaku, karena aku hamil di saat kondisi kami sedang memburuk dalam urusan ekonomi. 

Perutku semakin membesar, dan sudah tidak sanggup lagi melakukan hal-hal rumit milik wanita. Rob, mengubah lakunya sebagai lelaki. Dia tidak pernah mengeluh dalam segala hal yang aku pinta, dia bersedia mengurus kebutuhan rumah selama aku mengandung dan menunggu saat-saat kelahiran anak kami. 

Aku meminta Rob agar memberi izin melahirkan di Nigeria, kemudian dia mempersilahkanku pergi. Padahal aku sangat berharap di bisa melihat anaknya saat baru dilahirkan, namun apa daya aku harus mengalah demi Rob yang selalu mengalah denganku.

Telefon pintar menyelamatkan kami, menyelamatkan ketidakhadiran Rob di sampingku, menyelamatkan dirinya agar bisa melihat anaknya baru dilahirkan. Adikku Vera bertugas merekam proses kelahiranku dan langsung mengirimnya ke Rob agar dia melihat anaknya telah dilahirkan dengan selamat.

Rob dan aku sepakat memberinya nama Viva Love yang berarti kemenangan cinta. Sebulan setelah melahirkan aku kembali ke Indonesia untuk menemani Rob, dan memperlihatkan Rob wajah cantik Viva.

.... Bersambung

0 komentar: