Lukman Mati karena Semangkuk Mie

(Kisah ini diadaptasi dari berita pembunuhan salah satu warga Kebayoran Lama yang sakit hati karena tidak dibayari makan mie) Aku...

(Kisah ini diadaptasi dari berita pembunuhan salah satu warga Kebayoran Lama yang sakit hati karena tidak dibayari makan mie)

Aku adalah seorang pria rantau dari tanah Banten yang menguji nasib di Jakarta. 

Selama di Ibu Kota, aku menumpang hidup dengan saudara sepupuku di Kebayoran Lama. Mereka tinggal di sebuah rumah petak, yang disewakan oleh Fathimah anak juragan tanah. Sepupuku, Lukman memberiku ruang untuk bisa tidur, makan dan melakukan aktivitas lainnya di ruang tengah bersamanya. Kedua orangtuanya istirahat di kamar khusus yang berisi satu almari kasur tanpa ranjang kayu. 

Tiga pekan berada di Jakarta, ternyata membuatku melarat, lantaran CV yang aku kirim ke beberapa perusahaan pelayaran belum kunjung memberiku kepastian apakah aku diterima atau tidak. Tanpa pekerjaan dan tanpa adanya bantuan dana untuk hidup sehari-hari. Aku malu untuk meminta welas asih kepada sepupuku yang baru berusia 18 tahun dan baru bekerja selama sepekan di toko emas Pasar Kebayoran Lama. Meski terkadang dia memberiku jajan walau tak seberapa aku menerimanya dengan ikhlas.

Suatu ketika aku sangat kelaparan, kebetulan ada tukang nasi goreng yang melintas di halaman depan rumah kontrakan sepupuku. Aku mengajaknya keluar agar dia melihat ada gerobak nasi goreng di dekat rumah dan berharap membelinya kemudian menraktir aku sebungkus mie goreng. Pasalnya, di dalam rumah dia mengeluh kelaparan dan ingin mencari makan. 

"Eh, ada tukang nasi goreng, bang sebungkus ya," kata sepupuku.

Lantas tak dianya, aku juga memesan satu bungkus mie goreng spesial dan berharap sepupuku akan membayar apa yang aku beli.

"Abang beli juga, emang ada duit?," tanya sepupuku.

"Lah, kan elu yang bayarin, dibayarin kan ini?," jawabku dengan pertanyaan kembali kepadanya.

"Siapa yang mau bayarin. Bayar sendiri!" tegas Lukman.

"Lu, kok gitu amat ke gue. Kalau gue punya duit gue pasti bayar sendiri enggak minta-minta sama elu," ungkapku bernada kesal.

"Abang saban hari minta beliin mulu, bukannya kerja malah diem aja di rumah. Cari kerja kek biar dapat duit jangan minta-minta melulu," kesalnya.

"Gue udah kirim lamaran ke beberapa orang belum ada jawaban, kalau gue ada kerjaan enggak akan gue tinggal di sini!" sesalnya.

Kemudian, pertengkaran tersebut menyulut emosiku karena Lukman tidak membayar mie goreng pesananku. Sambil menanggung malu, aku mengatakan kepada si tukang nasi goreng agar mau bersedia aku hutangi sebungkus mie goreng karena tidak ada uang sepeserpun.

"Enggak apa-apa bang. Bayarnya kapan-kapan saja, enggak dibayar juga enggak apa-apa," tambahnya. 

Setelah menjelaskan itu, aku kembali ke rumah untuk beristirahat dan perasaan emosiku muncul kembali saat melihat Lukman yang sedang tidur di samping kasurku.

Tiba-tiba badanku panas, jantungku berdebar kencang, napasku terengah-engah dan seketika wajahku memerah karena kesal dan malu tentang apa yang dia perbuat kepadaku. Tanpa berpikir panjang, pisau dapur yang baru saja dibeli oleh ayah Lukman aku ambil. 

Aku menggenggam pisau tersebut kemudian berjalan ke arah Lukman yang sedang tertidur. Bantal kapuk yang berada di kakinya aku ambil untuk menutup wajahnya agar dia kehabisan napas. Ternyata Lukman masih berontak, aku lempar bantal tersebut dan menutup mulut Lukman sambil mencekiknya dengan kencang. 

Mata pisau lancip langsung aku hunuskan ke leher bagian kanan Lukman hingga batang pisau bengkok dan nyaris terputus. Tanpa mencabut pisau itu, dan melihat Lukman berlumuran darah aku membersihkan darah yang menempel di kulitku dan keluar membawa baju-baju.

"Tolong tolong," lirih Lukman, Ayahnya langsung terbangun dan mendapati Lukman terluka parah. "Ini perbuatan Rudi," ungkap Lukman sambil menahan sakit.

Satu jam berada di ruang gawat darurat, nyawa Lukman tak bisa diselamatkan. Dia meninggal dengan luka tusuk di bagian leher yang menganga akibat terhunus pisau.

Karena tidak memiliki uang sepeserpun, sebelum pergi, aku mengambil uang Lukman yang berada di saku celananya. Dari rumah Lukman aku berjalan kaki menuju terminal Blok M, lantas aku menaiki mobil yang mengarah ke Bekasi, agar aku dapat pulang ke Karawang.

Aku menangis, emosi, dan sedikit ketakutan. Takut polisi menangkapku, di hadapan istriku. Aku baru menikah dengannya selama tiga bulan, aku tak ingin polisi menangkapku. Kemudian, aku mengganti bus sebanyak lima kali agar sampai ke rumah istriku. 

Setiba di rumah, dia terkejut dengan kedatanganku dini hari seperti ini."Abang kok pulang, jam berapa ini?" kata istriku. Sudah jangan ngomong terus abang ngantuk, mau tidur. Capek di jalan enggak tahu apa?" tegasku.

Telefon genggam istriku bergetar, pada layar tidak ada nama penelefon. "Neng, ini Aa, Rudi aya?," kata ayah Lukman. "Aya, Kang baru aja sampai, lagi tidur," tambah Rita.

Ayah Lukman dibantu anggota penyidik Polsek Kebayoran Lama langsung menuju kediaman Rudi.

"Kami dari kepolisian sektor Kebayoran Lama, apakah benar saya berbicara dengan Rita istri Rudi?" kata orang yang berbicara pada istriku itu.

"Betul, ada apa ya Pak, kok suami saya dicari Polisi," tanya Rita. Mohon maaf Ibu sebelumnya, kami ingin memberitahukan bahwa suami ibu merupakan tersangka pembunuhan sepupunya sendiri, Lukman, kami ingin bekerjasama dengan ibu untuk menangkap Rudi," tambahnya.

"Astaghfirullah, baik pak. Suami saya sedang tertidur di rumah dia baru sampai," tambahnya.

Saat sedang tertidur, polisi memborgolku kemudian menggiringku ke ruang tahanan Polsek Kebayoran Lama.

(Kisah ini hanya fiktif belaka, semua peristiwa dalam cerita ini merupakan hasil adaptasi yang terinspirasi oleh berita kriminalitas yang marak terjadi. Semoga dapat memberikan kita pelajaran hidup ke depan)

0 komentar: