Memoar si Tua Thariq (2)

.... Menyambung kisah sebelumnya Dalam perjalanan ke Bandung yang memakan waktu sekira tiga jam lebih, aku melihat raut wajah kakekku m...

.... Menyambung kisah sebelumnya

Dalam perjalanan ke Bandung yang memakan waktu sekira tiga jam lebih, aku melihat raut wajah kakekku mendadak pucat pasi. Entah apa yang dirasakannya saat itu, mungkin dia belum makan sebelum menempuh perjalanan panjang atau ada hal lain yang menyebabkan dirinya sedemikian kaku terhadapku. Aku tidak pernah melihat Thariq dengan senyum ompongnya secemberut itu, bahkan ketika aku ketakutan dengan bunyi petir dia tak sedikitpun mengkhawatirkanku. 

Dalam minibus travel itu, kakek sibuk dengan telefon genggamnya, bisa jadi percakapan di dalam pesan singkat itu membuatnya sedemikian tegang. Aku ingin bertanya kepadanya, namun urung, takut aku terlalu ingin tahu dan hal itu membuat perasaannya semakin kacau.

Dari balik jendela, aku melihat gerbang tol Pasteur itu artinya kami sudah hampir sampai di tujuan, rumah istri ketiganya. Antrean bus dan kendaraan pribadi mulai membuat kesabaranku diuji, aku tidak sabar ingin segera turun dari minibus itu, dan menghirup oksigen Bandung agar ketakutan dan kecemasanku hilang setelah mendengar petir menyambar-nyambar di dalam jalan tanpa hambatan itu selama kurang lebih tiga jam sepanjang 80 km lebih.

Tubuh kecilku condong dan mata melirik ke sana kemari, seperti mencari sesuatu tetapi tak pasti. Di bahu jalan, aku melihat penjual makanan khas Bandung, kemudian saat mobil berhenti mereka menawarkan dagangannya kepadaku.

"Kakek, mungkin makanan itu nenek suka, bolehkah aku membeli satu," pintaku pada Thariq.

"Jangan sekarang, nanti saja selepas kita menjenguk nenekmu di Cihampelas," tandasnya.

Alisku langsung mengernyit, bibir kecilku seketika manyun mendengar Thariq menolak permintaanku. Sesaat setelah aku renungkan, mungkin dia benar, jika aku beli sekarang, nanti nenek Bandung akan merasa itu hadiah untuknya, dan akan memiliki makanan yang bukan diperuntukan olehnya.

Sebenarnya aku merasa setengah hati untuk ikut ke Bandung, setelah melihat kondisi kakekku yang seketika jauh berbeda sikapnya dengan di rumah. Aku mulai berpikir, apakah ini karakter kakekku yang belum aku ketahui, atau apakah dia sebetulnya menghindari masalah di Jakarta dan pergi ke Bandung untuk menjauh?.

Pilihannya untuk memakai travel tinimbang mobil pribadipun cukup mmebuatku takjub, biasanya Thariq tidak suka dengan kendaraan umum seperti travel ini untuk pergi jauh. Dia selalu membawa mobil tuanya kemanapun dia pergi, bahkan ke minimarket dekat rumah kami yang hanya berjarak 100 meter saja mobil kesayangannya itu selalu dikendarai tanpa supir. 

Tetapi mendengar alasannya yang logik agar aku bisa bersosialisasi dengan banyak orang di dalam travel membuatku menuruti sarannya, meski tidak satu orangpun di dalam minibus itu yang berbincang dengan kami bahkan hampir semua penumpang tertidur di dalam perjalanan panjang itu. 

Akhirnya, kami pun tiba di kediaman Badriah isteri ketiga kakekku. Rumahnya cukup sederhana dibanding rumah kami, namun memiliki halaman dan kebun yang luar biasa luas. Kau bisa bermain badminton atau bola di pekarangan rumahnya. 

Rumah bergaya arsitektur Belanda zaman 70'an itu sangat nyaman dan sejuk lantaran di kiri dan kanannya terdapat pohon yang rindang dan kolam ikan dengan gemericik air yang menyejukan. Ketika kami tiba di halaman depan rumah Badriah, aku mengumpat di belakang tubuh kakek. Perasaanku sangat takut, takut dia mengusirku lantaran aku cucunya dari isteri kedua Thariq, dan langsung mengusirku ketika dia melihat wajahku.

"Masya Allah, cantiknya cucu Maryam, mirip dengan neneknya. Mari masuk, nak, jangan takut," kata Badriah, ketakutanku seketika menghilang mendengar nada bicaranya yang sangat santun seperti Nenek Maryam.

Mendapat izin untuk memasuki rumahnya, aku langsung mencium tangannya dan keningnya, kemudian membuka alas kakiku. Ketika kaki ini menyentuh ubin keramik klasik yang dingin, tiba-tiba perasaan gelisah di dalam travel tadi mendadak hilang. Lantas, aku meminta izin untuk menggunakan kamar mandinya karena tak tahan sejak satu jam terakhir menahan untuk membuang air kecil.

Air di dalam kamar mandi Badriah sangat bening dan dingin, aku tak berani berlama-lama sebab dinginnya seperti di dalam pendingin makanan tetapi aku merasakan kesejukan yang tidak pernah aku dapatkan selama berada di Jakarta.

Usai membuang hajat di kamar mandi, mataku dibuat bertamasya, dia tak berhenti melirik sekeliling rumah yang di dalamnya terdapat barang antik nan usang.

Jejeran kursi, meja, dan almari berisikan keramik guci yang tersusun rapi semuanya terbuat dari kayu jati. Aku terkesima melihatnya, sangat berkelas, tidak seperti nenekku yang pertama, hampir semua barang di rumahnya merek luar negeri sedangkan di sini aku melihat keindahan arstektur seniman Indonesia yang sering aku lihat di televisi.

Di sekitarnya aku tidak melihat adanya pendingin ruangan, atau barang-barang mewah buatan luar negeri. Yang aku lihat hanya kipas angin kayu, dan beberapa keramik zaman penjajahan yang sudah usang. 

"Maaf mungkin rumahku tak semoderen milikmu, aku menyukai barang-barang antik, mereka seperti memberiku energi dan aku merasa kembali ke masa mudaku," kata dia saat aku melihat-melihat koleksinya.

"Ini menarik nek, aku sangat suka," tambahku.

Melihat aku takjub dengan isi rumahnya, Badriah memperkenalkan isi rumahnya kepadaku, dari kamar anak-anaknya yang berjumlah tiga orang, dapur hingga halaman luas tempat bermain cucunya ketika berkunjung ke rumah neneknya.

Rumah yang menurutku sangat megah itu saat ini hanya dihuni Badriah, pasalnya ketiga anaknya sudah memiliki keluarga dan memilih untuk tinggal di rumahnya masing-masing. Aku melihat beberapa foto anak dan cucu Badriah yang dipajang di ruang tengah, tanpa Thariq.

"Kenapa tidak ada kakek dalam foto-fotomu, Nek?" tanyaku.

"Dia sibuk dengan banyak isterinya, tapi anak-anakku masih menyebutnya ayah," jawabnya sambil terpingkal bersamaku.

"Apakah rumah indah ini pemberian kakek, atau kau sendiri yang membangunnya?," tanyaku lagi.

"Uangnya dari dia, sedangkan aku yang mengonsep rumah ini. Kau tahu, kakekmu itu seorang hartawan," jelasnya.

"Ya, aku tahu itu, rumah kamipun sangat megah. Tapi aku merasa tidak semegah dan seindah ini, aku nyaman berada di sini, suasananya membuat aku tenang," ujarku.

Setelah berbincang-bincang, Badriah membawaku ke kamar tamu di sana aku seperti anak bayi yang hendak tidur dengan ditutupi kelambu. Dia mengatakan nyamuk di rumahnya sangat banyak, untuk itu, setiap kamar wajib menggunakan kelambu agar tidur nyaman tanpa diganggu gigitan nyamuk.

Sementara aku merebahkan diri di dalam kamar, Badriah dan Thariq berbincang di halaman rumah. Badriah menyuguhkan Thariq kopi hitam dengan camilan pisang goreng, menu kesukaannya. 

Aku melihat dari balik jendela Badriah begitu rindu dengan Thariq, dengan memeluknya cukup erat. Mungkin karena kesendirian Badriah di rumah ini tanpa kehadiran seorang suami yang membuatnya sedemikian melankolis.

Seakan tidak ingin mengganggu mereka berdua, aku membuka buku novel kegemaranku untuk pengantar tidur. Baru lima lembar aku membaca buku karangan Andrea Hirata itu, telefon genggamku berdering kencang. Tertulis di layarnya, nenek memanggil. Langsung aku menjawab telefonnya dan tiba-tiba suara parau wanita tua itu menanyakan apakah aku sudah sampai di rumah Badriah.

"Kami sudah sampai, Nek. Aku suka di sini, anginnya sejuk dan airnya sangat dingin, rasanya aku ingin tinggal di sini," ujarku.

"Hm... kau tidak mau tinggal bersamaku? baiklah. Tinggal saja dengan Nenek BAdriah jadilah cucu yang baik dengannya," sesalnya bernada cemburu ketika aku kerasan di rumah Badriah. 

Setelah mendengarkan suara Maryam, mataku seketika lelah melihat jejeran aksara di novel kegemaranku itu, lantas tertidur.

#######################

Pukul lima sore, aku terbangun seraya melihat, sinar matahari mulai meredup, bunyi jangkrik menjadi melodi penyambut malam, dan suara adzan bak pemanggil rembulan bahwa matahari sudah rampung dengan pekerjaannya.

Dari dalam kamar, aku masih melihat Badriah dan Thariq berbincang di halaman depan. Lantas aku menghampiri mereka dan memeluk Thariq untuk mendapatkan kehangatan di sore yang dingin di Bandung.

"Kau mau makan?, kakek akan memesankan makanan cepat saji kesukaanmu, apakah nenekmu sudah menelfon?" tanya Thariq.

"Sudah, sebelum aku tertidur tadi. Aku ingin kentang goreng dan ayam krispi, Kek," pintaku.

Thariq langsung mengeluarkan telefon genggamnya dan memesan makanan untukku. Badriah melihat tingkahku yang manja kepada Thariq mengingatkan kepada cucu kesayangannya.

"Aku rindu cucuku," tuturnya sambil mengelus rambut panjangku. 

"Bisakah kau mengajaknya ke sini. Agar aku ada teman dan bisa berkenalan lebih dekat dengannya," kataku.

Lantas, Badriah masuk ke dalam rumah dan menelefon anaknya untuk datang ke rumah. Namun, mereka menolaknya, karena besok pagi harus menghadiri acara penting bersama.

Aku tidak mengerti mengapa mereka menolak permintaan Badriah untuk berkunjung ke rumah, apakah karena ada aku atau Thariq berada di rumahnya atau memang acara tersebut sangat penting sehingga menjadi alasan mereka untuk tidak berkunjung. Entahlah.

Di rumah indah itu, hanya ada kami bertiga. Kami menghabiskan waktu di ruang tengah dengan menonton televisi dan makan malam istimewa buatan nenek Badriah.

Sementara itu, aku merasakan kehampaan, sendirian lalu mendadak tidak betah. Biasanya, tepat pukul delapan malam aku bersama kakek dan kedua orangtuaku di halaman dan melakukani hal menarik atau keluar rumah untuk bersenang-senang. Di sini, ngin pergi ke tempat hiburan sangat jauh, harus menempuh satu sampai dua jam untuk ke kota. 

Aku bosan. Lebih baik tidur dibanding mendengarkan kedua orang lingsir itu membicarakan masa lalu yang tidak aku mengerti. 

"Kek, aku ingin tidur," kataku.
dan membaca lembaran-lembaran kisah fiksi Andrea Hirata. Tanpa sada
"Lho, tumben sekali. Biasanya kau baru bisa tidur pukul 10," tambahnya.

"Aku lelah, aku ingin membaca buku saja di kamar," tambahku.

Sambil mengecup kening Thariq dan Badriah lantas menuju kamar r aku langsung terpejam, namun masih mendengar mereka berbincang di dalam ruang tengah, aku menghiraukan suara itu dan kembali melelapkan tidurku.

########################

Pagi harinya, suara ayam-ayam tetangga dan gonggongan anjing menjadi alarm tidurku. Aku terbangun dan melihat seisi rumah tidak berpenghuni, aku berpikir Nenek Badriah sedang ke pasar membeli sayuran dan membeli beberapa makanan untuk kami sedangkan kakek seperti biasa berjalan kaki mengitari pemukiman warga. 

Aku menuju dapur dan membuka kulkas untuk mencari susu dan makanan kecil. Sambil membawa segelas susu serta biskuit, aku menuju ruang keluarga lalu menyetel siaran televisi kesukaanku. 

Sudah hampir pukul sembilan mereka belum juga datang, lalu aku mengambil telefon genggamku dan mencari nomor kakek, lantas terdapat suara perempuan yang mengatakan bahwa nomor kakek untuk sementara tidak bisa dihubungi.

Aku mencoba menelefonnya sebanyak lima kali, namun jawaban yang sama aku dapatkannya. Seketika kesal menyelimuti perasaanku, sebab aku ditinggal di rumah yang berisikan barang-barang zaman dulu ini sendirian. Lantas aku berinisiatif untuk menghubungi Badriah, suara perempuan seperti dalam nomor telefon kakekku tidak ada. 

"Halo, siapa ini?" ujar Badriah, dia belum memiliki nomorku untuk itu bertanya ihwal nama penelpon. 

"Aku, Sarah, Nek. Cucu Kakek yang menginap di rumahmu. Di mana kalian, aku bingung sendirian di rumah," tanyaku.

"Aku sedang di kantor polisi, Nak. Kakekmu menghilang dia diculik sejak malam aku tidak menemukannya," katanya.

"Apakah keluargaku di Jakarta tahu,"Belum aku belum menghubungi mereka," jawabnya langsung.

Kemudian dia menutup perbincangan lewat telefon lalu membuat berita acara perkara di kantor kepolisian setempat. Aku cemas di rumah, rasanya ingin menghubungi keluargaku namun pesan Badriah jangan dulu dilakukan karena akan membuat mereka panik. Bisa saja kakek tidak diculik melainkan tidak mengetahui arah pulang atau tidur di hotel sebab enggan tidur bersama Badriah.

Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi, tetapi aku gemas ingin menelefon orang rumah. Siapa tahu, Thariq sudah berada di Jakarta dan meninggalkanku sendirian di rumah ini, karena melihat aku kerasan bersama Badriah. 

Tidak mungkin, tak mungkin dia sekejam itu. Tak mungkin dia melakuukan hal itu, Thariq sangat mencintaiku, dan merupakan cucu kesayangannya.

Pikiranku melayang, aku mengingat kembali kegelisahan di dalam bus travel kemarin. Lantas mengaitkannya dengan kejadian hari ini, bahwa kekhawatiran dan ketakutanku saat itu merupakan pertanda hal buruk akan terjadi kepadaku atau Thariq.

Aku mulai menggila, tangisku pecah meraung-raung sendirian di rumah. Jeritan tangisku mengundang banyak orang untuk melihat keadaanku lewat jendela.

"Ada orang ternyata, aduh orangtuanya kemana ya? Ibu Badriah kemana sih kasian dia menangis terus," kata salah satu warga yang melihatku dari kaca.

Lantas mereka mengetuk-ngetuk pintu rumah Badriah, namun apa daya aku tidak bisa membuka pintu karena kuncinya dibawa istri ketiga Thariq itu. 

Salah satu tetangga Badriah berinisiatif untuk menelefon perempuan berusia 50 tahun itu dan memberitahukan bahwa aku menangis tak kunjung henti. 

Setelah ditelefon, Badriah tiba-tiba muncul dari berlari ke halaman rumahnya di mana sekitar puluhan warga memadati rumahnya. Lantaran melihatku menangis tak berhenti sejak pagi hingga siang hari lalu membuka pintu meraihku dan memelukku erat.

"Jangan menangis, Nak. Aku di sini," ujarnya.

Lalu aku mendorong tubuhnya, menjerit ingin pulang dan menginginkan kakekku kembali. Dia tersungkur, hampir mengenai tulang ranjang dari kayu di dalam kamarku. 

##################

Untuk pertama kalinya, Badriah menginjakkan kaki ke Jakarta untuk mengantarkanku pulang dan akhirnya bertemu dengan isteri pertama dan kedua Thariq yang rumahnya berdekatan. 

Setiba di Jakarta, kami langsung menuju rumahku, di sana Maryam memelukku tetapi dia sedikit menunjukkan raut wajah curiga. Lantaran mataku terlihat bengkak dan aku pulang bukan bersama Thariq tetapi dengan seorang wanita tua yang dia kenal sebelumnya. 

"Badriah...," kata Maryam bernada kecil.

.....Bersambung


0 komentar: