Kandang Kambing dan Kopi Ungaran Paling Bir

Tahun baru Islam 1437/2015, aku merayakannya di Kota Hujan, bersama para guru besar menulis Kelas Anggit Narasoma. Ya, aku menyebut mere...


Tahun baru Islam 1437/2015, aku merayakannya di Kota Hujan, bersama para guru besar menulis Kelas Anggit Narasoma. Ya, aku menyebut mereka guru besar, atau suhu karena memang mereka yang mengajarkanku bagaimana menulis sefiksi dan sedramatis mungkin. Sudah hampir tiga tahun lebih jalinan silaturahmi itu tidak putus, meski berpisah jarak tapi mereka sudah aku anggap sebagai keluarga besarku, Bogor menjadi tempat aku minggat dari kebisingan Ibukota.

Di sana, bukan hanya untuk bertatap muka saja, tapi juga berdiskusi seputar penulisan dan buku bersama Om Erha Limanov, Abah Zoer, Om Matahari Timoer, Om Adi 'Wong Kamfung' Purwanto, Mami Utami Utar, Si Cantik Erfano Nalakiano, dan Si Geulis Essenza Quranic Bachresy meski kadang hanya segelintir yang datang.

Biasanya kami kumpul di Saung Menulis yang ditinggali oleh Om Erha Limanov, tepatnya di Jalan Indraprasta. Di tempat pertapaannya itu, aku mendapat wawasan tak sedikit, dari mulai batu akik hingga cara menanam yang baik dan benar. Cukup beri dia sajen sebungkus rokok merek Dunhill Putih dan kopi, pria yang selalu punya ciri khas membunyikan kentutnya itu akan memberimu jutaan wawasan tentang filsafat hidup bahkan filsafat ketuhanan. 

Mulanya, niatku ke Bogor di tanggal merah ini adalah menemui Om Manov untuk membayar keripik ubi yang aku beli darinya, dan sesampainya di sana beliau sibuk dengan tanaman dan berselancar di dunia maya, dibanding menanggapi kemolekan tubuhku. 

Satu hal yang menarik, jika Om Manov tidak sedang asyik membuka laman sosial Facebook, dan Youtube mungkin aku tidak akan mengenal musisi jalanan seperti Estas Tonne. Dia merupakan seorang pengamen bergaya Indian Gipsi yang berkeliling dunia dengan alat musik petiknya, gitar. Estas sukses membuatku terkesima dengan petikan melodi gitarnya yang sangat meditatif. 


Aku mendengarkan musik-musik yang dimainkan oleh Estas Tonne hingga tidak mengetahui hujan deras turun sore itu, sedangkan pria dengan perut buncit itu sibuk di depan televisi dan mondar-mandir ke belakang untuk melihat tanaman-tanamannya.

Tepat pukul 18.10 WIB, aku memohon kepada Om Manov untuk ke Kandang Kambing II, setelah dibujuk rayu akhirnya, dia sudi berangkat dengan menggunakan motor bebek berwarna hitam itu. Pada saat kami berada di jalan menuju Kandang Kambing rintik hujan masih turun. Karena, orang Jakarta ini ngebet sekali ingin ke sana, meski basah kami melanjutkan perjalanan dan menempuh jarak cukup jauh.

Tiba di Kandang Kambing, Om Manov urung nimbrung sebab ada saudaranya datang ke rumah yang sedang berduka, dan ada masalah serius yang harus diperbincangkan.

Untuk diketahui, Kandang Kambing merupakan sebutan untuk kediaman keluarga Adi 'Wong Kamfung' Purwanto dan Utami Utar, keduanya merupakan Dosen di universitas terkemuka di Bogor dan salah satu murid paling tua di Kelas Anggit Narasoma pada saat itu.. hahaha *Maap OM, MAM* :D

Disebut Kandang Kambing, bukan karena banyak kambing atau bau kambing di rumahnya, mungkin ada alasan atau maksud lain mengapa nama tersebut disematkan untuk tempat tinggalnya. Hingga saat ini belum aku ketahui alasan utama mereka menamai Kandang Kambing, mungkin dahulu, rumah mereka berantakan seperti Kandang Kambing, entahlah. Setahuku, di Kandang Kambing selalu tersaji kopi paling Indonesia nan istimewa yang disuguhkan mereka. 

Sudah sejak lama aku ingin sekali mampir ke Kandang Kambing, sebelumnya mereka tinggal di Jalan Dramaga dan belum sempat aku bersilaturahmi ke sana, baru kemarin mampir ke Kandang Kambing II yang berlokasi di dekat Kampus BEC.

Alasanku nafsu ke Kandang Kambing adalah melihat cuit-cuit Om Adi 'WKF' Purwanto yang selalu memamerkan beragam jenis kopi, dari luar dan dalam negeri, aku penasaran dengan citarasanya, ingin sekali mencicipi barang seteguk kopi-kopi itu di Kandang Kambing. Pasalnya, hampir seluruh masyarakat Indonesia-lebay si Raiza-selalu memposting gambar minum kopi di Kandang Kambing, aku kan jadi iri.

Ada kesempatan ke sana meski sudah malam dan hujan, aku langsung menagih hutang Om WKF-begitu dia disapa-untuk menyuguhkanku kopi Afrika. Tapi sayang kopi itu sudah habis, kemudian dia mengeluarkan jenis kopi baru yang didapatkannya dari seorang sahabat di Ungaran, Jawa Tengah kemudian menawarkan kepadaku sebagai sesajen tamu.

Sebelum menyuguhkan kopi itu, dia menceritakan tentang jenis kopinya yakni perpaduan antara Robusta, Arabica, Excelsa. Pernah coba? saya menjamin hanya segelintir orang yang sudah merasakannya. Sebab, kopi itu hanya ada di Ungaran dan Kandang Kambing.

Om WKF mengatakan, setiap orang yang menyeruput kopi racikan sahabatnya itu pasti bakal pusing hebat hingga pingsan karena memiliki kadar kafein dan tingkat keasaman yang tinggi. Mendengar hal itu, aku langsung menelan ludah, takut pingsan diseruputan pertama. Pasalnya, pria dengan kacamata bak profesor itu mengisahkannya begitu serius dan dramatik sekali, aku jadi ketakutan sendiri untuk mencoba kopi jenis baru itu.

"rooongrrooongroooong," bunyi mesin giling kopi terdengar dari teras Kandang Kambing, jelas saja, lah wong Om WKF menggilingnya di samping pintu masuk ya kedengaran lah. Wajahku langsung tegang dan menghampiri Om WKF, melihat butiran-butiran mirip vagina berwarna hitam pekat gosong itu menjadi bubuk semacam bedak bayi. Lantas aku menciumnya, aromanya sangat khas, dan wajahku masih saja kaku, membayangkan cerita dan bagaimana rasa kopi aneh itu. 

"klontang, gabruuk, byaar, sssttt...," dari dalam rumah aku mendengar seseorang tampaknya sedang sibuk di dapur, mungkin tengah menyiapkan segelas kopi yang baru digiling tadi untuk tamu paling eksotis dari Jakarta ini.

Tiba-tiba seorang pria keluar membawa dua cangkir kopi racikan Robusta, Arabika dan Excelsa. Lantas dia berikan gelas nescafe warna merah kecil kepadaku untuk mencicipi kopi hasil perkawinan antara Robusta, Arabika, dan Excelsa.

Dari aromanya aku sudah dibuat mabuk, bagaimana menyeruputnya? terlebih sudah diceritakan tentang keunikan kopi jenis baru itu. Aku angkat gelasnya kemudian mencium aroma terlebih dahulu, karena belum berani untuk meneguknya. 

"Aku takut," kataku. Pasangan suami istri itu malah menertawakanku, dan Om WKF menyuruhku untuk segera meminumnya sambil menjelaskan bahwa buih kopi yang terdapat di gelasku menjelaskan bahwa itu merupakan ciri kopi terbaik di muka bumi dengan tingkat keasaman atau gas yang tinggi. 

Lantas aku memberanikan diri untuk menyeruputnya, voila.... ternyata enaak tidak seperti apa yang aku bayangkan sebelumnya setelah diceritakan ihwal kopi yang bisa membuat orang pingsan jika memiliki maag atau jarang meminum kopi. Aku seperti dibawa berimajinasi ke perkebunan kopi, rasanya seperti surga, melayang, dan ketagihan!

Segelas penuh aku habiskan ditegukan ketiga. Sisa tinggal ampasnya saja, konon di Kandang Kambing keluarga Dosen itu kerap ngemil kopi baik masih berbentuk butiran maupun ampas kopinya itu sendiri. Aku mencoba bereksperimen dengan memanfaatkan ampas kopi untuk dijadikan selai roti. 

"Nyam nyam nyam," aku memakan roti yang sudah diberi ampas kopi, rasanya sangat enak tak pahit atau masam. Ketika potongan terakhir, kepalaku mendadak pusing kecil, tepat di bagian samping dan dahi, seperti memutar tapi tidak pusing memabukkan. Merem melek, sambil mengunyam roti selai ampas kopi karena pusing, tiba-tiba mau muntah? apa karena aku belum makan? tak mungkin, aku sudah makan banyak tadi, apa karena maagku kambuh karena pamali minum kopi bagi orang berpenyakit  maag. Tak mungkin, kopi terbaik itu tidak akan memberikan efek samping, katanya. 

Saking enaknya menikmati kopi itu, aku meminta Om WKF membuatkanku kopi segelas lagi, saat aku keluar untuk membeli sebungkus rokok. Ya, karena rokok dan kopi itu suami istri, tak enak rasanya ada kopi tapi tak ada rokok seperti bercinta di atas ranjang tanpa pasangan. 

Tiba di rumah, kopi ronde keduaku datang, pas! Sambil membakar batangan tembakau, aku menyeruputnya, mencium aroma kopi Ungaran itu. Hampir setengah gelas aku minum, izin ke kamar mandi, untuk buat air kecil, seketika tanpa beri aba-aba semua yang ada di dalam perutku keluar. Muntah, seperti orang habis minum bir dan vodka berbotol-botol. Setelah muntah, aku justru malah minum lagi meski kepala sudah kliyengan. Sambil cerita tentang pekerjaan dan juga kopi aku menyeruputnya lagi dan lagi.

Habis satu gelas setengah lebih aku menikmati kopimu Tuan Adi WKF Purwanto, terima kasih atas suguhannya. Betul katamu, menikmati kopi memang harus bercerita terlebih dahulu agar saat menyeruputnya memiliki cita rasa yang berbeda. 

"Makanya, orang-orang menikmati kopi itu sambil ngobrol, karena memang cocok kopi bersama obrolan itu. Memang harusnya ngopi sambil ngobrol biar asyik," katanya.

Bogor memang selalu membuatku takjub. Terima kasih sudah sudi aku mampir ke Kandang Kambing II Om WKF. 

0 komentar: