Berkunjung ke Tempat Pemujaan Tuhan Zaman Megalitikum di Cianjur

Berkesempatan mengunjungi situs purbakala paling fenomenal di Jawa Barat, tentunya menjadi kebanggan tersendiri. Bukan karena panoraman...


Berkesempatan mengunjungi situs purbakala paling fenomenal di Jawa Barat, tentunya menjadi kebanggan tersendiri. Bukan karena panoramanya yang apik, melainkan imajinasi tertantang berkelana di zaman purbakala.

Mungkin, aku adalah orang ke sekian yang menginjakan kaki ke situs purbakala terbesar di Jawa Barat, Gunung Padang. Langkahku tergerak menuju tempat peradaban zaman megalitikum itu, ketika seorang pria yang kutemui di Guwa Pawon, Cimahi, menceritakan tentang keagungan Gunung Padang.

Mulanya aku tidak tertarik sama sekali melangkahkan kaki ke Gunung Padang, membayangkan perjalanan yang tidak pendek dan harus pulang ke Jakarta. Namun, dengan ekspresi yang begitu meyakinkanku ihwal keajaiban dan keindahan Gunung Padang, sontak kakiku seperti ingin berlari ke tempat tersebut. Terlebih, pada saat itu ia sempat mengerdilkan nyaliku, dengan menyebut perjalanan menuju Gunung Padang bagai mencari mata air di tengah sahara, lantaran tempatnya yang sangat sulit ditempuh, tanpa rasa ragu dan penasaran yang memuncak aku beranjak ke tempat yang ia ceritakan.

Kala itu, matahari kurang bersahabat, cahayanya terlalu terik hingga membakar sebagian kecil tubuhku. Selama kurang lebih tiga jam menggunakan sepeda motor, aku mengukur aspal Cimahi hingga desa Karyamukti sepanjang 165 kilometer. Baru seperdelapan perjalanan, tubuh mulai merengek, mau pingsan akibat cuaca panas yang menghantam seluruh persendianku.

Rasa penasaran yang cukup tinggi dan tak ingin melakukan berbagai hal setengah hati, tekad yang tinggi berhasil mendobrak perasaan lelah itu kemudian membayangkan bahwa aku akan melihat pemandangan yang begitu indah lengkap dengan penghayatan sejarahnya.

Tak dianya, ternyata apa yang dikatakannya benar. Perjalanan ke Gunung Padang sungguh tidaklah mudah, butuh kesabaran dan tenaga ekstra serta fisik yang joss. Sepanjang jalan aku berpapasan dengan truk-truk besar pengangkut batu kapur, jalan berlubang, belum lagi bertemu tikungan tajam serta jalan yang berpasir dan berbatu. Itu hanya deskripsi jalan rayanya saja, butuh waktu sekira dua jam melewati tiga desa dan dusun dengan kontur tanah miring hingga mencapai 90 derajat. Jalannya hanya muat dua motor, tidak rata, masih berupa tanah, batuan besar, kiri dan kanan jurang, ditambah lagi banyak binatang melata kerap melintas tanpa permisi.




Tepat pukul 12.00 WIB di mana matahari tak memperbolehkanku untuk melirik bayanganku sendiri, aku sampai di tujuan. Tanpa rasa malu, ketika melihat plang nama Situs Purbakala Gunung Padang sontak mulutku langsung memekikan takbir berulang kali, bersyukur akhirnya aku sampai di tujuan dengan selamat. Mata mulai berkunang, lelah, panas dan emosi berkumpul, mereka meraung-raung pada tubuhku meminta rebah barang sesaat. Untuk meredam itu semua, aku membakar sebatang rokok dan meminum air bening tanpa bernafas. Saking haus dan lelahnya. 

"Datang sendiri, Teh?" tanya seorang petugas Situs Purbakala padaku yang terlihat aneh seperti orang gila membawa tas ransel besar sendirian, wajah penuh debu dan berkeringat. 

"Muhun, A. Sendirian dari Bandung nuju Gunung Padang," jawabku sekenanya.

"Wanian pisan Teh?","Muhun A. Urang penasaran sareng Gunung Padang."

"Istirahat heula, Teh. Eta di luhur aya panginapan," tawarnya.
"Sabahara A, semalaman?" tanyaku. "Tungguan nyak, urang bade tanyakeun heula, ka pamilikna," ujarnya. 

Mungkin dia adalah malaikat yang diturunkan Tuhan kepadaku, tanpa basa-basi dia menawarkan ini dan itu. Aku terkesima dengan kebaikan pria paruh baya yang memakai ikat kepala khas Pasundan yang sudah berbaik hati melayan kedatanganku. Setelah bernegoisiasi, aku mendapatkan penginapan untuk istirahat sejenak sebelum mendaki lagi. Karena, untuk mencapai situsnya, kita harus memanjat sekira 10 menit dari pintu loket.

Mata sudah tidak bisa diajak berkompromi, tanpa diberi aba-aba langsung terpejam usai mandi. Selama satu jam setengah aku tertidur setengah pulas, mengingat akan menanjak dan perut belum diisi makanan.



Setelah makan dan membersihkan diri-lagi-aku mulai mendaki gunung yang dipenuhi bebatuan endesit zaman purbakala itu. Sekira 100 anak tangga lebih, dengan kontur berantakan dan ketajaman tikungan 90 derajat, aku melangkahkan kaki satu persatu. Nafas mulai tidak bisa terkontrol, efek nikotin memberatkan langkah dan memporak-porandakan ritme denyut nadiku, dengkul lemas, baju mulai basah oleh keringat.

Semula, prediksiku sampai ke atas Gunung Padang sekira 10 menit, ternyata itu tak cukup. Meski sudah melatih kaki mendaki beberapa gunung, namun pada saat menaiki anak tangga Gunung Padang kaki meletih sebelum sampai situs purbakala itu. Manusia semuda diriku, membutuhkan waktu 20 menit untuk mencapai atas untuk menyaksikan hamparan bebatuan tak beraturan di puncak Gunung Padang.

Sesampainya di atas gunung sekira pukul 04.00 WIB aku menghela nafas panjang dan merasakan denyut nadi kembali normal. Telapak kaki yang tadinya panas, mendadak dingin karena perasaan bersyukur bisa sampai di atas. Baju yang basah mulai mengering, angin kencang dan matahari berhasil melenyapkan itu semua. 

Kamera telepon genggamku, tak berhenti menangkap spot-spot menarik untuk diabadikan. Tanpa bantuan orang lain, aku memotret sendiri keberadaanku di tengah situs-situs zaman megalitikum itu dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Hamparan bebatuan endesit besar berhasil membuat hatiku tenang, nyaman, dan damai seakan tidak mau turun ingin berkemah di atas saja. Hampir tiga jam sambil menunggu matahari terbenam, aku membantu beberapa petugas kebersihan memunguti dedaunan yang jatuh. Herannya, aku tidak mengeluh lelah sedikitpun, seperti ada energi yang menarik tubuhku untuk membantu mereka. 

Dengan bahasa Sunda seadanya, aku mencoba memulai percakapan dengan Kang Widodo, Kang Daud dan Kang Yahya. Mereka menceritakan tentang kesakralan situs purbakala tersebut, yang membuatku tercengang. Dari kisah banyak manusia dan binatang yang mati ketika melintas di atasnya hingga penduduk desa lain terkena sakit misterius karena berani mencuri bebatuannya.

Pria yang juga dikenal sebagai kuncen Gunung Padang itu menceritakan banyak para pejabat datang untuk sekadar meminta karomah kepada para leluhur dengan bertawasulan atau membaca zikir-zikir khusus agar apa yang diinginkan termakbul. Aku tak percaya pada saat itu, kemudian dia mengajakku untuk ikut bergabung melaksanakan kegiatan tawasulan di atas malam nanti.

"Teteh pas datangnya, hari ini hari kamis, biasanya kami mengadakan tawasulan di atas, banyak yang datang tengah malam. Kebanyakan sih pejabat daerah, ada juga yang orang biasa datang dari berbagai daerah," ungkapnya.

Untuk menundukkan rasa kemustahalan itu, tanpa berpikir panjang aku mengiyakan perintahnya. Tepat pukul 00.19 WIB aku melangkahkan kaki menanjaki jalan batu ditemani Kang Daud dan beberapa ustadz serta pemangku adat desa setempat.

Gelap, suara hewan dan desis angin hampir menyurutkan langkahku. Beruntung ada beberapa orang yang mendampingiku saat itu, dengan mulut sambil berkomat-kamit, perjalanan yang semula berlangsung 20 menit dengan mereka mungkin hanya membutuhkan waktu lima menit! untuk mencapai atas. Luar biasa!

Ujian nyali tidak berhenti sampai di situ, sesampainya di atas terdengar bunyi orang seperti bermain gamelan. Beberapa ustadz yang berjalan di depanku langsung berhenti, membacakan doa sambil memohon izin untuk berkunjung. Bulu kuduk berdiri, cahaya bulan penuh malam itu memperlihatkan wajah-wajah situs purbakala yang gagah terkena semburatnya.



Aku mengucap syukur bisa berada di atas Gunung Padang pada dini hari. Di beberapa titik, aku melihat terdapat orang membawa sesajen bertapa dan juga meditasi. Di sisi lain aku melihat beberapa orang berpakaian putih-putih membaca shalawat serta doa-doa khusus. Semua aku abadikan untuk menjadi momen tak terlupakan selama berada di atas Gunung Padang. Namun anehnya, sesampainya di bawah foto-foto hasil jepretanku blur dan ada satu yang hilang. 

Kang Widodo, kuncen sekaligus pemerhati situs purbakala di Indonesia mengajakku untuk duduk ikut bershalawat tanpa bertanya terlebih dahulu apa agamaku. Usai melakukan ritual itu, mereka mengajakku makan ngariung, makanannya sederhana, hanya ada tempe, tahu, sambal, ikan dan juga sayur bayam. Udara dingin membuat perutku lapar, tak peduli makan di atas tampah bersama 10 orang jemari berebut mengambil lauk dan juga nasi. 

Ada hal unik yang aku alami usai bertawasulan di atas Gunung Padang, ketika udara dingin menelusup ke dalam jaketku, aku tidak merasakan kedinginan yang begitu dahsyat. Sementara di sekelilingku berkemul jaket dan selimut. 

"Teh enggak kedinginan?," tanya Kang Widodo melihatku sangat aneh malam itu.

"Enggak, A. Cuma adem aja enggak dingin enggak panas juga, kenapa gitu A?," ujarku.

"Oh, kelahiran tahun berapa Teh?,","1 Desember 1988, A. Kenapa sih?"

"Enggak cuma nanya aja," jawabnya mengambang, sambil tersenyum dan menganggukan kepala di hadapanku.

Aku belum mendapatkan jawaban logis, kenapa dia bertanya seperti itu. Tapi, aku tidak memperdulikannya dan langsung bercengkrama dengan mereka membicarakan keagungan situs purbakala yang ada di tanah Cianjur tersebut. 

Tepat pukul 02.30 WIB kami diwajibkan untuk turun. Karena, tepat pukul 03.00 WIB, merupakan jam khusus manusia purba dan kita tidak boleh mengusiknya dengan berada di atas sana. 

Tiba di pusat informasi, sambil mengobrol, ngopi dan minum kopi. Hawa dingin menggerayangi tubuhku, lantas aku bergegas mengambil jaket di dalam kamar penginapan, karena dinginnya yang begitu kejam menusuk-nusuk kulitku.

Kemudian, aku meminta Kang Widodo untuk menjelaskan mengapa di atas tadi tidak sedingin ini. Dia hanya membalasnya dengan senyuman dan megajakku bertemu salah seorang pemuka agama. Setelah menemui orang itu, Kang Widodo menjabarkan bahwa di dalam diriku terdapat api yang begitu besar, di Gunung Padang orang-orang seperti aku pasti akan nyaman dan betah serta cocok untuk tinggal. Karena, energi yang ada di atas mampu meredam kobaran api bukan mematikannya.

Aku terheran, setengah tak percaya. Tapi, apapun itu, aku bersyukur bisa berkelana ke zaman megalitikum bersama mereka. Aku tidak percaya bisa menempuh jarak yang tak pendek untuk mencapainya, dan berhasil dengan baik.

Sinar matahari membangunkan tidurku, dan bergegas untuk pulang ke Jakarta lewat Bandung Kota. Perjalanan 165KM kembali akan aku hadapi. Sebelum beranjak, aku berpamitan dengan Gunung Padang dan beberapa kawan baru yang kutemui di sana. Kang Widodo, memberi bekal air keramat kepadaku untuk dapat diminum selama perjalanan. Air yang konon memiliki jutaan manfaat, dengan kandungan mineral tinggi hasil dari batuan endesit zaman purbakala.

"Minum air ini, teteh pasti kangen ke sini lagi. Semoga selamat sampai tujuan ya Teh," kata Kang Widodo.

"Nuhun A. Mohon doanya ya, biar aku sehat, bisa balik lagi ke sini, sejahtera dunia akhirat.","Amin," jawabnya lugas.

Sesampainya di Kota Bandung, aku ditampakkan lagi beragam keanehan. Salah satunya ada anak kecil yang meminta gendong saat aku sedang keberatan membawa barang bawaan. Dia menangis histeris dan merengek di hadapanku. Seorang pria tua meminta rokok yang sedang aku hisap nyawanya, dan motor jatuh saat hampir menabrakku.


Selayang pandang

Masyarakat setempat mempercayai bahwa situs purbakala Gunung Padang merupakan tempat Prabu Siliwangi, Raja Sunda yang berusaha membangun istana dalam semalam dan telah dikeramatkan oleh warga sekitar. Penemuan harta kekayaan Indonesia ini, oleh seorang sejarawan asal Belanda N.J Krom pada tahun 1949 sebelumnya keberadaan situs ini juga pernah dimuat pada ROD semacam buletin dinas kepurbakalaan pada tahun 1914.

Bangunan di bawah permukaan situs Gunung Padang dianggap lebih tua dari Piramida di Giza hal itu dibuktikan secara ilmiah pada hasil pengujian karbon dating laboratorium BATAN (Indonesia) denan metoda SC. C14 dari material paleosoil ke dalaman -4 meter pada lokasi bor coring. Hasil yang tak kalah mengejutkan adalah keluarnya hasil laboratorium Beta Analytic Miami, Florida yang mengatakan bahwa sekitar kedalaman lima meter sampai 12 meter pada bor 2 ditemukan situs yang usianya 14500-23000 sebelum masehi. (Wikipedia)


0 komentar: