Shudfah (1)

Setelah setengah tahun tak bertemu dengannya membuat suhu dalam darah membuncah dan memanas ingin sekali bertemu dan memeluknya...






Setelah setengah tahun tak bertemu dengannya membuat suhu dalam darah membuncah dan memanas ingin sekali bertemu dan memeluknya. Jantung berdegup kencang dan sekujur tubuh mendingin karena perasaan tidak sabar ingin bertemu dengannya segera.

Satu pekan sebelum kedatangan Ummi Amal, kami mempersiapkan yang terbaik di rumah untuk menyambut sang empunya. Menghitung hari, jam, dan detik demi menanti kedatangannya. Tepat tanggal 23 Maret 2010, Ummi diperkirakan datang, aku menoleh arah jam mengintai jarum yang memutar dalam lingkaran angka bermesin itu,detik,menit seakan mereka melambatkan putarannya padahal yang kutahu tak ada masalah dalam mesin dan baterainya. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja yang tak sabar menggelayuti otak dan hati.

Tepat pukul 17.00 WIB, mesin mobil berbunyi di halaman rumah. Lantas aku mengintip dari jendela, kudapati mobil APV hitam kepunyaan ukhty Maisa Ummu Ala, langkahku semakin kencang. Aku yakin di dalamnya ada Ummi Amal, seperti yang dilakukan Siti Hajar mencari air untuk Musa, aku sa'i(berlari kecil)menghampiri pintu gerbang dan aku melihat sesosok wanita tinggi besar dengan jilbab yang khas, turun dengan langkah perlahan saat menuruni tangga mobil.

Mataku terus berbinar mengintai dia dari kejauhan dan ku melihatnya sangat lemah dan tubuhnya kurus tidak seperti empat tahun yang lalu, dengan linangan air mata dia melangkah ke dalam rumah. Tangisannya meledak tatkala menuju ruangan kecil berukuran 3x3 yang biasa ia lewati hari-harinya dengan suami tercinta. Melihatnya menangis meraung-raung, bendungan mataku tak sanggup menahan derasnya gelombang airmata, seketika tumpah dihadapannya aku tak sanggup menahan gejolak emosiku. Aku memeluknya erat, tapi tak tersampaikan asaku untuk mengatakan padanya,"Ummii laa tabkiy..." 

Keadaan saat itu penuh dengan keharuan. Aku merasakan, persendian tak mampu bergerak seakan terpaku oleh kesedihan, mungkin ia faham dengan isyarat pelukan eratku untuknya.

Aku merasa asing dengan keadaannya yang berubah drastis, baik dari fisik, dan perasaannya. Yang aku tahu dia merupakan wanita tangguh, periang serta selalu membincangkan segala hal kepadaku. Saat bertemu dengannya, aku berusaha mengontrol diri untuk tetap bisa memahami kondisinya lantaranya Ummi Amal hanya dua bulan di Indonesia dan akan pulang ke negara asalnya, Khartoum, Sudan.

Pekan pertama rumah megah berukuran 350 meter persegi itu dihiasi dengan tangisan. Guratan memori di hati dan pikirannya bertebaran ditiap sudut ruang, tentang kesenangan, tentang amarah. Mungkin baginya sangat sulit mengucilkan duka yang sering berkunjung di lubuk hatinya. Ingatannya sangat kuat tentang berbagai hal bersama sang suami, namun kini Ummi harus menanggalkan itu semua dan bersahabat dengan masa depan yang harus dilalui secara indah. 



"Ana haziinah, rumah ini sedih...karena tuannya pergi..,"ungkapnya di hadapanku. Aku hanya bisa tertunduk mendengarkan kalimat tersebut seakan ia juga ingin mati menyusul sang suami.

Dua pekan berlalu, seperti biasa mengantarnya ke pasar belanja sayuran, memasak bersama dan melakukan hal yang disukainya yakni memijat pundaknya dengan minyak Zaitu. Tak jarang perasaan bosan bergelayut di hatiku, itu semua musnah oleh rasa cinta yang membuncah dan pengabdian karena telah menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri yang selama ini belum pernah ia rasakan bagaimana menasehati, memarahi dan menyayangi anak kandung.

Tiga pekan bersamanya, ada pertengkaran kecil. Seperti anak dan ibunya, dia tidak suka dengan perbuatanku yang menjengkelkan dan sangat sensitif. Pernah suatu ketika, ia marah besar karena hal sepele. Aku dapati seseorang menelponku, orang yang ia dan aku kenal dengan baik. Orang tersebut menelponku tapi tak menanyakan ihwal keadaan Ummi, padahal disampingku ada beliau, lantas ia amat kesal denganku.

"Man hiya?","Hiya....",jawabku kaku.

"limadza lam tas'alniy?, madza fa'altu, kef haaly, Andunisi lam tafham usrah wa ukhuwah..," kesalnya sambil menangis di hadapanku.

"Ummi ana Andunisiy", jawabku sambil melotot.
"Enti? laysa andunisy!!!"jawabnya dengan nada meninggi."Hum Andunisiyun, ayna thalibat, aina rafigul ustadz,kulluhum lam tahfamun an usrah hum ghaira jayyid hum yuriiduna minna asy'ya lakin idza mata kullu lam yahdhur hena...limadza asndunisiyun keda??!!!jawziy tuwufiya wa lam ya'ti ahad ila hadzalbait!!"makin meninggi nadanya sambil menutup mata dan menangis menjerit.

Lalu aku memeluknya dan berkata lagi,"Ummiiiii ana andunisiy, uhibbuki kama ust yuhibbuk...!"
"Anti laysa andunisiy,"Ummi menta'kid lagi bahwa aku bukan orang Indonesia, karena hanya aku yang ada di sampingnya pada saat itu di saat ia jatuh. Dia tidak mau tahu, darah yang mengalir di tubuhku yang kental dan padat adalah budaya Indonesia, tapi mengapa ia menganggapku bukan orang indonesia??.

Dengan nada kesal karena ia terus menghardik tingkah laku beberapa orang yang tidak memiliki rasa empati terhadapnya yang telah janda. Akhirnya, aku menulis di linikala sosial media dan memasang foto Ustad Hasan Bashier yang terlupakan. Dengan adanya sentilan itu, barulah mereka(thalibat dan asatidz) merasa ditampar dan diingatkan dengan jasa-jasa yang beliau beri semasa hayatnya, memang susah menyadarkan orang lupa, butuh energi khusus untuk dapat meluluhkan relung hati yang berkarat.

Tiga hari setelah kejadian itu barulah mereka berdatangan. Padahal, Ummi mengharapkan sepekan setelah kedatangannya, para thalibat ustadz berkerumun di rumahnya. Alasannya cukup klasik, malu untuk datang jika tidak membawa ‘Sesuatu’. Tak bisa dipungkiri, budaya segan dan malu yang kita ciptakan merusak semua sangka dan maksud hati. Salah faham kecil dan cara berpikir itulah yang berujung pada nasehat untuk mengubah pola pikir tentang makna ukhuwah dan usrah. Aku kasian pada mereka yang datang, seharusnya perbincangan mereka hangat dan penuh haru malah dipenuhi dengan amarah. Ummi menanyakan mengapa mereka baru datang? dengan nada bicara agak meninggi dan sedikit ingin menangis lagi tapi tertahan oleh istighfar dan esoknya demi menebus janji akan berkunjung, merekapun berdatangan lagi.

Aku menangkap emosi Ummi pada saat itu masuk akal. Sebab, kolega ustadz yang berada di Negeri Jiran, tak payah datang ke indonesia hanya ingin berkunjung melihat keadaan Ummi. Sungguh malu aku dibuatnya, dua negara yang masih satu rumpun tapi dibedakan dengan sifat dan karakter bijak. Aku semakin kesal menyaksikan hal itu, geram rasanya mempertanyakan sifat sahabat-sahabatku yang telah berguru selama bertahun-tahun dengan Ustad Hasan, tidak muncul mengunjungi istrinya. Padahal yang kutahu jika bukan aku yang menemani beliau di rumah saat ustadz dakwah di beberapa negara merekalah yang dipanggil ummi untuk menemani. Sungguh ironis, melihat tingkah laku mereka. Aku berteriak didepan kelas tak ada satupun yang memperdulikan kalimatku.

Satu bulan berlalu Ummi semakin disibukkan dengan persiapan pulang ke Sudan. Kulihat dari balik pintu kamarnya, ia bercengkrama dengan abaya, baju-baju ustadz, himar dan pastinya timbangan. Mungkin jika timbangannya bisa berbicara dia akan berkata,”cukuuuuuuuuuuuuuuuuupppp, beri aku waktu sejenak untuk meluruskan baut-bautku yang mulai melemah!" karena, dua almari besar ukuran 3 meter x 50 sentimeter keluar dari tempatnya dan berpindah ke dalam dus kecil.

Tatkala melihat pakaian ustadz yang biasa beliau pakai, ia seketika menangis membayangkannya lagi kisah indah bersama sang suami. Tiga hari setelah melakukan packing, ada undangan acara wisuda di kampus kami, dan ummi sebagai pendamping kawan kami Mbak Zuhriah, semua mata terbelalak melihat Ummi datang ke acara tersebut. Mungkin perasaan malu juga menghampiri mereka sebab selama ini, belum pernah berkunjung ke rumah semenjak kedatangan Ummi di Indoensia. Beruntung, mereka berusaha mencairkan suasana dengan acara yang mungkin kurang bermanfaat bagi Ummi lantaran tak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Dia hanya duduk dan memperhatikan acara berlangsung. Merasa tak nyaman dengan sekelilingnya, Ummi ingin segera pulang. Terlebih, cuaca sedang tak bersahabat, awan sudah mulai mengguratkan rona kelabu tanda akan ada rintikan air yang jatuh membasahi bumi.

Satu lagi yang membuatnya tak nyaman dan ingin segera pulang, karena tak mau ketinggalan sinetron berbahasa arab kesayangannya, Rimaadul Hub. Beruntung, sampai rumah hujan baru turun dengan derasnya. (bersambung).

0 komentar: