Nusa Dua (7/12) Masyarakat yang datang dari berbagai daerah di Bali tidak henti-hentinya menyanyikan dan meneriakan yel-yel penolaka...



Nusa Dua (7/12) Masyarakat yang datang dari berbagai daerah di Bali tidak henti-hentinya menyanyikan dan meneriakan yel-yel penolakan rencana reklamasi teluk benoa pada saat acara nonton bareng Semifinal Piala AFF antara Indonesia melawan Vietnam pada Rabu (7/12) di wantilan Kantor Lurah Benoa.

Selain meneriakan yel-yel Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Mereka juga membawa kertas yang bertuliskan "I Love Indonesia, I Love Bali, Tolak Reklamasi Teluk Benoa dan Bapak Presiden Ir. Joko Widodo Batalkan Perpres No. 51 tahun 2014 karena sayang Bali pasti Tolak Reklamasi Teluk Benoa".

Putra Somali dari Sidakarya yang antusias menghadiri acara tersebut mengatakan sangat berharap agar Bapak Presiden Jokowi segera membatalkan Perpres No. 51 tahun 2014. Bali selatan menurutnya sudah sesak sehingga tidak perlu lagi ada  "Saat ini Bali sudah over pembangunan terutama di Bali selatan, sehingga tidak perlu lagi reklamasi di Teluk Benoa" ujarnya.

Gerakan penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa yang sudah berjalan hampir 4 tahun. Saat ini sudah ada 39 desa adat di Bali yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa termasuk yang disekitar Teluk Benoa.

"Seharusnya proyek reklamasi tersebut tidak dipaksakan oleh investor dan pemerintah tidak abai terhadap aspirasi masyarakat, apalagi teluk yang akan di reklamasi tersebut sudah ditetapkan sebagai kawasan suci oleh PHDI sehingga harus kita jaga" tambah Wayan Adi Sumiarta asal Ubud yang juga ikut acara Nobar di Kantor Lurah Benoa.

Suara penolakan reklamasi Teluk Benoa menemukan moment terbaiknya ketika diakhir laga, penonton secara bersama-sama menyanyikan mars Bali Tolak Reklamasi sehingga mencuri perhatian dari Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi.

Sayangnya pada kesempatan itu Presiden Joko Widodo yang direncanakan akan datang berhalangan dan acara nonton bareng hanya dihadiri Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi yang datang bersama Wakil Bupati Badung I Ketut Suiasa,  Kapolresta Denpasar Kombes Hadi Purnomo serta Lurah Benoa I Wayan Solo.


Pada pertandingan tersebut Indonesia berhasil menahan imbang tuan rumah Vietnam 2-2 melalui babak perpanjangan waktu. Indonesia akhirnya melaju ke final piala AFF dengan agregat 4-3 setelah sebelumnya pertemuan di Jakarta, Indonesia berhasil menundukan Vietnam 2-1

Pura Ulun Danu Beratan, di Bedugul, merupakan salah satu ikon Pulau Dewata Bali. Sampai-sampai tempat ini, dijadikan sebuah gambar sal...


Pura Ulun Danu Beratan, di Bedugul, merupakan salah satu ikon Pulau Dewata Bali. Sampai-sampai tempat ini, dijadikan sebuah gambar salah satu mata uang di Indonesia.

Berkunjung ke Bali, tidak harus menikmati keindahan pantainya saja, terdapat beberapa kawasan di atas pegunungan yang menyimpan panorama istimewa. Salah satu wisata di wilayah utara Bali yakni Bedugul, banyak orang yang tidak tahu nama tempat wisata itu yang mereka ketahui hanyalah nama desanya saja.

Di Bedugul, terdapat dua danau eksotis yang wajib Anda kunjungi. Tempat yang berbatasan dengan daerah Denpasar dan Singaraja itu, akan membuat Anda takjub, pasalnya ada sebuah pura di tengah danau bernama Ulun Danu Beratan.

Bulan yang tepat berkunjung ke Bedugul adalah pada saat musim hujan dan di pagi hari. Pasalnya, di musim hujan air danau Pura Ulun Danu Beratan akan naik dan seperti mengambang di atas permukaan air, sama seperti di gambar uang seribuan. 

Berkunjung ke Bedugul disarankan pagi hari, karena siangnya akan turun hujan dan merusak gambar Anda. Pagi, saat yang tepat memotret keindahan alam Bedugul, kabut tebal dan pendaran sinar mentari pagi yang menyorot ke pura, membuat hasil jepretan Anda begitu dramatik.

Menariknya di Bedugul

Saya sangat takjub melihat Bedugul, bukan karena pemandangannya yang luar biasa indah. Tetapi, tenggang rasa antar umat beragama begitu kuat, saya menyaksikan sendiri bagaimana Umat Hindu berdampingan dengan Umat Islam dengan baik.

Menariknya lagi, selama di Bedugul, saya melihat dua tempat ibadah berdekatan tanpa adanya perselisihan lahan. Menoleh ke samping jalan terdapat Masjid Agung Al-Hikmah di mana di atas perbukitan di dekatnya terdapat makam salah seorang waliyullah, Habib Umar.

Sedangkan di bawahnya berdekatan dengan danau, Pura Ulun Danu Bratan, terhampar indah seluas 1200 meter persegi. Lantas, saya berpikir, mungkin ini maksud pemerintah menyematkan Pura Ulun Danu Bratan sebagai salah satu gambar untuk uang pecahan seribu. Di mana di tempat ini toleransi antar umat beragama begitu kuat.

Sepanjang mata memandang, tidak hanya wisatawan manca negara saya yang menyesaki kompleks pura yang dibangun sejak 1633 itu. Tetapi, wisatawan domestik dari berbagai etnis dan agama tumpah ruah di menyaksikan pura di tengah danau itu.


Saya merasa bangga dan bahagia bisa menyaksikan keindahan pemandangan alam di Bedugul. Sa








Di Bali, wisatawan tidak hanya dimanjakan dengan aneka pemandangan alam yang indah saja, tapi juga berbagai tempat nongkrong asyik. Sala...

Di Bali, wisatawan tidak hanya dimanjakan dengan aneka pemandangan alam yang indah saja, tapi juga berbagai tempat nongkrong asyik. Salah satunya di sebuah kafe menarik yang terletak di Sanur, dengan latar bengkel mobil dan motor antik, pengunjung yang datang bisa merasakan keunikan tempatnya.

Jalan-jalan ke Bali, menikmati pemandangan indah sembari mampir ke tempat nongkrong paling asyik bareng teman-teman merupakan agenda wajib yang harus ada di dalam list. Di Bali, terdapat beberapa spot menarik dan sayang kalau tidak dikunjungi. Salah satunya tempat makan di kawasan Sanur, Man Shed. 

Kafe seluas hampir satu hektar ini tergolong unik, karena mata pengunjung akan dimanjakan dengan beberapa mobil-mobil antik era 50 hingga 80 tahunan. Tidak hanya itu, di tempat ini juga ada motor-motor bekas yang usianya mungkin hampir seperempat abad. 

Mobil dan motor yang tersaji di Man Shed, boleh disewa. Area kafe juga bisa dijadikan pemotretan majalah, pre-wedding, atau sekadar narsis di depan mobil antik. Untuk menyewa mobil dan motor antik di sini, dikenakan harga Rp. 500ribu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Dulunya, kafe ini merupakan sebuah bengkel kendaraan bermotor, kemudian terbengkalai dan dijadikan sebuah tempat nongkrong tanpa harus mengubah konsep bengkel yang sudah ada awalnya. Tak ayal, pada saat memasuki area Man Shed, mata Anda akan dimanjakan dengan perkakas-perkakas bengkel yang dikemas sedemikian menarik untuk menjadi bagian dari properti kafe.

Man Shed juga memanfaatkan barang-barang bekas seperti galon air minum, motor Vespa yang sudah tidak layak pakai, tempat botol bir, hingga telefon umum jadul untuk memberi kesan berbeda dari kafe-kafe yang ada di Bali. Selain itu, di kafe ini juga bisa bermain billiard secara gratis sambil menunggu menu makanan datang. Ditambah lagi ada live music blues, dan layar berukuran 150 x 150 meter untuk menonton pertandingan bola dan Moto GP secara langsung.

Tempat buang air kecil pria yang terbuat dari pipa bekas dan juga galon air minum bekas
Meski tempatnya terlihat sangat oldstyle, tapi menu makanan yang disuguhkan sangat moderen, dan bersahabat dengan lidah. Harga yang ditawarkan juga relatif terjangkau, atau bisa dibilang sangat terjangkau, dengan uang seratus ribu, kamu bisa menikmati cordon bleu atau steak dan minuman ringan.

Para jomblowan dan jomblowati tampaknya harus mengunjungi tempat ini, karena, banyak bule-bule dari berbagai negara yang makan malam di Man Shed. Komunitas motor dan mobil antik juga sering menghabiskan waktu mereka di sana. Saat yang tepat untuk mencari pasangan, hahaha.

Lokasi Man Shed

Letak kafe Man Shed tidak terlalu sulit di temukan. Dari Legian atau Kuta, Anda bisa menggunakan sepeda motor menuju arah Sanur. Jika sudah memasuki wilayah Sanur, cari jalan Tirtanadi II yang letaknya dekat dengan Jalan Merta Sari.

Setelah menemukan Jalan Tirtanadi II, dari perempatan lampu merah sekira 25 meter, Anda akan melihat plang kafe Man Shed.

Salah satu model tempat duduk di Man Shed Cafe yang terbuat dari motor Vespa yang sudah tidak terpakai.
Bagi yang membawa kendaraan pribadi, kafe Man Shed memiliki lahan parkir yang cukup luas dan memuat puluhan kendaraan bermotor. Jadi, jangan khawatir tidak kebagian tempat parkir saat makan malam cantik di kafe dengan konsep bengkel mobil antik itu.

Setelah setengah tahun tak bertemu dengannya membuat suhu dalam darah membuncah dan memanas ingin sekali bertemu dan memeluknya...






Setelah setengah tahun tak bertemu dengannya membuat suhu dalam darah membuncah dan memanas ingin sekali bertemu dan memeluknya. Jantung berdegup kencang dan sekujur tubuh mendingin karena perasaan tidak sabar ingin bertemu dengannya segera.

Satu pekan sebelum kedatangan Ummi Amal, kami mempersiapkan yang terbaik di rumah untuk menyambut sang empunya. Menghitung hari, jam, dan detik demi menanti kedatangannya. Tepat tanggal 23 Maret 2010, Ummi diperkirakan datang, aku menoleh arah jam mengintai jarum yang memutar dalam lingkaran angka bermesin itu,detik,menit seakan mereka melambatkan putarannya padahal yang kutahu tak ada masalah dalam mesin dan baterainya. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja yang tak sabar menggelayuti otak dan hati.

Tepat pukul 17.00 WIB, mesin mobil berbunyi di halaman rumah. Lantas aku mengintip dari jendela, kudapati mobil APV hitam kepunyaan ukhty Maisa Ummu Ala, langkahku semakin kencang. Aku yakin di dalamnya ada Ummi Amal, seperti yang dilakukan Siti Hajar mencari air untuk Musa, aku sa'i(berlari kecil)menghampiri pintu gerbang dan aku melihat sesosok wanita tinggi besar dengan jilbab yang khas, turun dengan langkah perlahan saat menuruni tangga mobil.

Mataku terus berbinar mengintai dia dari kejauhan dan ku melihatnya sangat lemah dan tubuhnya kurus tidak seperti empat tahun yang lalu, dengan linangan air mata dia melangkah ke dalam rumah. Tangisannya meledak tatkala menuju ruangan kecil berukuran 3x3 yang biasa ia lewati hari-harinya dengan suami tercinta. Melihatnya menangis meraung-raung, bendungan mataku tak sanggup menahan derasnya gelombang airmata, seketika tumpah dihadapannya aku tak sanggup menahan gejolak emosiku. Aku memeluknya erat, tapi tak tersampaikan asaku untuk mengatakan padanya,"Ummii laa tabkiy..." 

Keadaan saat itu penuh dengan keharuan. Aku merasakan, persendian tak mampu bergerak seakan terpaku oleh kesedihan, mungkin ia faham dengan isyarat pelukan eratku untuknya.

Aku merasa asing dengan keadaannya yang berubah drastis, baik dari fisik, dan perasaannya. Yang aku tahu dia merupakan wanita tangguh, periang serta selalu membincangkan segala hal kepadaku. Saat bertemu dengannya, aku berusaha mengontrol diri untuk tetap bisa memahami kondisinya lantaranya Ummi Amal hanya dua bulan di Indonesia dan akan pulang ke negara asalnya, Khartoum, Sudan.

Pekan pertama rumah megah berukuran 350 meter persegi itu dihiasi dengan tangisan. Guratan memori di hati dan pikirannya bertebaran ditiap sudut ruang, tentang kesenangan, tentang amarah. Mungkin baginya sangat sulit mengucilkan duka yang sering berkunjung di lubuk hatinya. Ingatannya sangat kuat tentang berbagai hal bersama sang suami, namun kini Ummi harus menanggalkan itu semua dan bersahabat dengan masa depan yang harus dilalui secara indah. 



"Ana haziinah, rumah ini sedih...karena tuannya pergi..,"ungkapnya di hadapanku. Aku hanya bisa tertunduk mendengarkan kalimat tersebut seakan ia juga ingin mati menyusul sang suami.

Dua pekan berlalu, seperti biasa mengantarnya ke pasar belanja sayuran, memasak bersama dan melakukan hal yang disukainya yakni memijat pundaknya dengan minyak Zaitu. Tak jarang perasaan bosan bergelayut di hatiku, itu semua musnah oleh rasa cinta yang membuncah dan pengabdian karena telah menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri yang selama ini belum pernah ia rasakan bagaimana menasehati, memarahi dan menyayangi anak kandung.

Tiga pekan bersamanya, ada pertengkaran kecil. Seperti anak dan ibunya, dia tidak suka dengan perbuatanku yang menjengkelkan dan sangat sensitif. Pernah suatu ketika, ia marah besar karena hal sepele. Aku dapati seseorang menelponku, orang yang ia dan aku kenal dengan baik. Orang tersebut menelponku tapi tak menanyakan ihwal keadaan Ummi, padahal disampingku ada beliau, lantas ia amat kesal denganku.

"Man hiya?","Hiya....",jawabku kaku.

"limadza lam tas'alniy?, madza fa'altu, kef haaly, Andunisi lam tafham usrah wa ukhuwah..," kesalnya sambil menangis di hadapanku.

"Ummi ana Andunisiy", jawabku sambil melotot.
"Enti? laysa andunisy!!!"jawabnya dengan nada meninggi."Hum Andunisiyun, ayna thalibat, aina rafigul ustadz,kulluhum lam tahfamun an usrah hum ghaira jayyid hum yuriiduna minna asy'ya lakin idza mata kullu lam yahdhur hena...limadza asndunisiyun keda??!!!jawziy tuwufiya wa lam ya'ti ahad ila hadzalbait!!"makin meninggi nadanya sambil menutup mata dan menangis menjerit.

Lalu aku memeluknya dan berkata lagi,"Ummiiiii ana andunisiy, uhibbuki kama ust yuhibbuk...!"
"Anti laysa andunisiy,"Ummi menta'kid lagi bahwa aku bukan orang Indonesia, karena hanya aku yang ada di sampingnya pada saat itu di saat ia jatuh. Dia tidak mau tahu, darah yang mengalir di tubuhku yang kental dan padat adalah budaya Indonesia, tapi mengapa ia menganggapku bukan orang indonesia??.

Dengan nada kesal karena ia terus menghardik tingkah laku beberapa orang yang tidak memiliki rasa empati terhadapnya yang telah janda. Akhirnya, aku menulis di linikala sosial media dan memasang foto Ustad Hasan Bashier yang terlupakan. Dengan adanya sentilan itu, barulah mereka(thalibat dan asatidz) merasa ditampar dan diingatkan dengan jasa-jasa yang beliau beri semasa hayatnya, memang susah menyadarkan orang lupa, butuh energi khusus untuk dapat meluluhkan relung hati yang berkarat.

Tiga hari setelah kejadian itu barulah mereka berdatangan. Padahal, Ummi mengharapkan sepekan setelah kedatangannya, para thalibat ustadz berkerumun di rumahnya. Alasannya cukup klasik, malu untuk datang jika tidak membawa ‘Sesuatu’. Tak bisa dipungkiri, budaya segan dan malu yang kita ciptakan merusak semua sangka dan maksud hati. Salah faham kecil dan cara berpikir itulah yang berujung pada nasehat untuk mengubah pola pikir tentang makna ukhuwah dan usrah. Aku kasian pada mereka yang datang, seharusnya perbincangan mereka hangat dan penuh haru malah dipenuhi dengan amarah. Ummi menanyakan mengapa mereka baru datang? dengan nada bicara agak meninggi dan sedikit ingin menangis lagi tapi tertahan oleh istighfar dan esoknya demi menebus janji akan berkunjung, merekapun berdatangan lagi.

Aku menangkap emosi Ummi pada saat itu masuk akal. Sebab, kolega ustadz yang berada di Negeri Jiran, tak payah datang ke indonesia hanya ingin berkunjung melihat keadaan Ummi. Sungguh malu aku dibuatnya, dua negara yang masih satu rumpun tapi dibedakan dengan sifat dan karakter bijak. Aku semakin kesal menyaksikan hal itu, geram rasanya mempertanyakan sifat sahabat-sahabatku yang telah berguru selama bertahun-tahun dengan Ustad Hasan, tidak muncul mengunjungi istrinya. Padahal yang kutahu jika bukan aku yang menemani beliau di rumah saat ustadz dakwah di beberapa negara merekalah yang dipanggil ummi untuk menemani. Sungguh ironis, melihat tingkah laku mereka. Aku berteriak didepan kelas tak ada satupun yang memperdulikan kalimatku.

Satu bulan berlalu Ummi semakin disibukkan dengan persiapan pulang ke Sudan. Kulihat dari balik pintu kamarnya, ia bercengkrama dengan abaya, baju-baju ustadz, himar dan pastinya timbangan. Mungkin jika timbangannya bisa berbicara dia akan berkata,”cukuuuuuuuuuuuuuuuuupppp, beri aku waktu sejenak untuk meluruskan baut-bautku yang mulai melemah!" karena, dua almari besar ukuran 3 meter x 50 sentimeter keluar dari tempatnya dan berpindah ke dalam dus kecil.

Tatkala melihat pakaian ustadz yang biasa beliau pakai, ia seketika menangis membayangkannya lagi kisah indah bersama sang suami. Tiga hari setelah melakukan packing, ada undangan acara wisuda di kampus kami, dan ummi sebagai pendamping kawan kami Mbak Zuhriah, semua mata terbelalak melihat Ummi datang ke acara tersebut. Mungkin perasaan malu juga menghampiri mereka sebab selama ini, belum pernah berkunjung ke rumah semenjak kedatangan Ummi di Indoensia. Beruntung, mereka berusaha mencairkan suasana dengan acara yang mungkin kurang bermanfaat bagi Ummi lantaran tak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Dia hanya duduk dan memperhatikan acara berlangsung. Merasa tak nyaman dengan sekelilingnya, Ummi ingin segera pulang. Terlebih, cuaca sedang tak bersahabat, awan sudah mulai mengguratkan rona kelabu tanda akan ada rintikan air yang jatuh membasahi bumi.

Satu lagi yang membuatnya tak nyaman dan ingin segera pulang, karena tak mau ketinggalan sinetron berbahasa arab kesayangannya, Rimaadul Hub. Beruntung, sampai rumah hujan baru turun dengan derasnya. (bersambung).

Berkesempatan mengunjungi situs purbakala paling fenomenal di Jawa Barat, tentunya menjadi kebanggan tersendiri. Bukan karena panoraman...


Berkesempatan mengunjungi situs purbakala paling fenomenal di Jawa Barat, tentunya menjadi kebanggan tersendiri. Bukan karena panoramanya yang apik, melainkan imajinasi tertantang berkelana di zaman purbakala.

Mungkin, aku adalah orang ke sekian yang menginjakan kaki ke situs purbakala terbesar di Jawa Barat, Gunung Padang. Langkahku tergerak menuju tempat peradaban zaman megalitikum itu, ketika seorang pria yang kutemui di Guwa Pawon, Cimahi, menceritakan tentang keagungan Gunung Padang.

Mulanya aku tidak tertarik sama sekali melangkahkan kaki ke Gunung Padang, membayangkan perjalanan yang tidak pendek dan harus pulang ke Jakarta. Namun, dengan ekspresi yang begitu meyakinkanku ihwal keajaiban dan keindahan Gunung Padang, sontak kakiku seperti ingin berlari ke tempat tersebut. Terlebih, pada saat itu ia sempat mengerdilkan nyaliku, dengan menyebut perjalanan menuju Gunung Padang bagai mencari mata air di tengah sahara, lantaran tempatnya yang sangat sulit ditempuh, tanpa rasa ragu dan penasaran yang memuncak aku beranjak ke tempat yang ia ceritakan.

Kala itu, matahari kurang bersahabat, cahayanya terlalu terik hingga membakar sebagian kecil tubuhku. Selama kurang lebih tiga jam menggunakan sepeda motor, aku mengukur aspal Cimahi hingga desa Karyamukti sepanjang 165 kilometer. Baru seperdelapan perjalanan, tubuh mulai merengek, mau pingsan akibat cuaca panas yang menghantam seluruh persendianku.

Rasa penasaran yang cukup tinggi dan tak ingin melakukan berbagai hal setengah hati, tekad yang tinggi berhasil mendobrak perasaan lelah itu kemudian membayangkan bahwa aku akan melihat pemandangan yang begitu indah lengkap dengan penghayatan sejarahnya.

Tak dianya, ternyata apa yang dikatakannya benar. Perjalanan ke Gunung Padang sungguh tidaklah mudah, butuh kesabaran dan tenaga ekstra serta fisik yang joss. Sepanjang jalan aku berpapasan dengan truk-truk besar pengangkut batu kapur, jalan berlubang, belum lagi bertemu tikungan tajam serta jalan yang berpasir dan berbatu. Itu hanya deskripsi jalan rayanya saja, butuh waktu sekira dua jam melewati tiga desa dan dusun dengan kontur tanah miring hingga mencapai 90 derajat. Jalannya hanya muat dua motor, tidak rata, masih berupa tanah, batuan besar, kiri dan kanan jurang, ditambah lagi banyak binatang melata kerap melintas tanpa permisi.




Tepat pukul 12.00 WIB di mana matahari tak memperbolehkanku untuk melirik bayanganku sendiri, aku sampai di tujuan. Tanpa rasa malu, ketika melihat plang nama Situs Purbakala Gunung Padang sontak mulutku langsung memekikan takbir berulang kali, bersyukur akhirnya aku sampai di tujuan dengan selamat. Mata mulai berkunang, lelah, panas dan emosi berkumpul, mereka meraung-raung pada tubuhku meminta rebah barang sesaat. Untuk meredam itu semua, aku membakar sebatang rokok dan meminum air bening tanpa bernafas. Saking haus dan lelahnya. 

"Datang sendiri, Teh?" tanya seorang petugas Situs Purbakala padaku yang terlihat aneh seperti orang gila membawa tas ransel besar sendirian, wajah penuh debu dan berkeringat. 

"Muhun, A. Sendirian dari Bandung nuju Gunung Padang," jawabku sekenanya.

"Wanian pisan Teh?","Muhun A. Urang penasaran sareng Gunung Padang."

"Istirahat heula, Teh. Eta di luhur aya panginapan," tawarnya.
"Sabahara A, semalaman?" tanyaku. "Tungguan nyak, urang bade tanyakeun heula, ka pamilikna," ujarnya. 

Mungkin dia adalah malaikat yang diturunkan Tuhan kepadaku, tanpa basa-basi dia menawarkan ini dan itu. Aku terkesima dengan kebaikan pria paruh baya yang memakai ikat kepala khas Pasundan yang sudah berbaik hati melayan kedatanganku. Setelah bernegoisiasi, aku mendapatkan penginapan untuk istirahat sejenak sebelum mendaki lagi. Karena, untuk mencapai situsnya, kita harus memanjat sekira 10 menit dari pintu loket.

Mata sudah tidak bisa diajak berkompromi, tanpa diberi aba-aba langsung terpejam usai mandi. Selama satu jam setengah aku tertidur setengah pulas, mengingat akan menanjak dan perut belum diisi makanan.



Setelah makan dan membersihkan diri-lagi-aku mulai mendaki gunung yang dipenuhi bebatuan endesit zaman purbakala itu. Sekira 100 anak tangga lebih, dengan kontur berantakan dan ketajaman tikungan 90 derajat, aku melangkahkan kaki satu persatu. Nafas mulai tidak bisa terkontrol, efek nikotin memberatkan langkah dan memporak-porandakan ritme denyut nadiku, dengkul lemas, baju mulai basah oleh keringat.

Semula, prediksiku sampai ke atas Gunung Padang sekira 10 menit, ternyata itu tak cukup. Meski sudah melatih kaki mendaki beberapa gunung, namun pada saat menaiki anak tangga Gunung Padang kaki meletih sebelum sampai situs purbakala itu. Manusia semuda diriku, membutuhkan waktu 20 menit untuk mencapai atas untuk menyaksikan hamparan bebatuan tak beraturan di puncak Gunung Padang.

Sesampainya di atas gunung sekira pukul 04.00 WIB aku menghela nafas panjang dan merasakan denyut nadi kembali normal. Telapak kaki yang tadinya panas, mendadak dingin karena perasaan bersyukur bisa sampai di atas. Baju yang basah mulai mengering, angin kencang dan matahari berhasil melenyapkan itu semua. 

Kamera telepon genggamku, tak berhenti menangkap spot-spot menarik untuk diabadikan. Tanpa bantuan orang lain, aku memotret sendiri keberadaanku di tengah situs-situs zaman megalitikum itu dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Hamparan bebatuan endesit besar berhasil membuat hatiku tenang, nyaman, dan damai seakan tidak mau turun ingin berkemah di atas saja. Hampir tiga jam sambil menunggu matahari terbenam, aku membantu beberapa petugas kebersihan memunguti dedaunan yang jatuh. Herannya, aku tidak mengeluh lelah sedikitpun, seperti ada energi yang menarik tubuhku untuk membantu mereka. 

Dengan bahasa Sunda seadanya, aku mencoba memulai percakapan dengan Kang Widodo, Kang Daud dan Kang Yahya. Mereka menceritakan tentang kesakralan situs purbakala tersebut, yang membuatku tercengang. Dari kisah banyak manusia dan binatang yang mati ketika melintas di atasnya hingga penduduk desa lain terkena sakit misterius karena berani mencuri bebatuannya.

Pria yang juga dikenal sebagai kuncen Gunung Padang itu menceritakan banyak para pejabat datang untuk sekadar meminta karomah kepada para leluhur dengan bertawasulan atau membaca zikir-zikir khusus agar apa yang diinginkan termakbul. Aku tak percaya pada saat itu, kemudian dia mengajakku untuk ikut bergabung melaksanakan kegiatan tawasulan di atas malam nanti.

"Teteh pas datangnya, hari ini hari kamis, biasanya kami mengadakan tawasulan di atas, banyak yang datang tengah malam. Kebanyakan sih pejabat daerah, ada juga yang orang biasa datang dari berbagai daerah," ungkapnya.

Untuk menundukkan rasa kemustahalan itu, tanpa berpikir panjang aku mengiyakan perintahnya. Tepat pukul 00.19 WIB aku melangkahkan kaki menanjaki jalan batu ditemani Kang Daud dan beberapa ustadz serta pemangku adat desa setempat.

Gelap, suara hewan dan desis angin hampir menyurutkan langkahku. Beruntung ada beberapa orang yang mendampingiku saat itu, dengan mulut sambil berkomat-kamit, perjalanan yang semula berlangsung 20 menit dengan mereka mungkin hanya membutuhkan waktu lima menit! untuk mencapai atas. Luar biasa!

Ujian nyali tidak berhenti sampai di situ, sesampainya di atas terdengar bunyi orang seperti bermain gamelan. Beberapa ustadz yang berjalan di depanku langsung berhenti, membacakan doa sambil memohon izin untuk berkunjung. Bulu kuduk berdiri, cahaya bulan penuh malam itu memperlihatkan wajah-wajah situs purbakala yang gagah terkena semburatnya.



Aku mengucap syukur bisa berada di atas Gunung Padang pada dini hari. Di beberapa titik, aku melihat terdapat orang membawa sesajen bertapa dan juga meditasi. Di sisi lain aku melihat beberapa orang berpakaian putih-putih membaca shalawat serta doa-doa khusus. Semua aku abadikan untuk menjadi momen tak terlupakan selama berada di atas Gunung Padang. Namun anehnya, sesampainya di bawah foto-foto hasil jepretanku blur dan ada satu yang hilang. 

Kang Widodo, kuncen sekaligus pemerhati situs purbakala di Indonesia mengajakku untuk duduk ikut bershalawat tanpa bertanya terlebih dahulu apa agamaku. Usai melakukan ritual itu, mereka mengajakku makan ngariung, makanannya sederhana, hanya ada tempe, tahu, sambal, ikan dan juga sayur bayam. Udara dingin membuat perutku lapar, tak peduli makan di atas tampah bersama 10 orang jemari berebut mengambil lauk dan juga nasi. 

Ada hal unik yang aku alami usai bertawasulan di atas Gunung Padang, ketika udara dingin menelusup ke dalam jaketku, aku tidak merasakan kedinginan yang begitu dahsyat. Sementara di sekelilingku berkemul jaket dan selimut. 

"Teh enggak kedinginan?," tanya Kang Widodo melihatku sangat aneh malam itu.

"Enggak, A. Cuma adem aja enggak dingin enggak panas juga, kenapa gitu A?," ujarku.

"Oh, kelahiran tahun berapa Teh?,","1 Desember 1988, A. Kenapa sih?"

"Enggak cuma nanya aja," jawabnya mengambang, sambil tersenyum dan menganggukan kepala di hadapanku.

Aku belum mendapatkan jawaban logis, kenapa dia bertanya seperti itu. Tapi, aku tidak memperdulikannya dan langsung bercengkrama dengan mereka membicarakan keagungan situs purbakala yang ada di tanah Cianjur tersebut. 

Tepat pukul 02.30 WIB kami diwajibkan untuk turun. Karena, tepat pukul 03.00 WIB, merupakan jam khusus manusia purba dan kita tidak boleh mengusiknya dengan berada di atas sana. 

Tiba di pusat informasi, sambil mengobrol, ngopi dan minum kopi. Hawa dingin menggerayangi tubuhku, lantas aku bergegas mengambil jaket di dalam kamar penginapan, karena dinginnya yang begitu kejam menusuk-nusuk kulitku.

Kemudian, aku meminta Kang Widodo untuk menjelaskan mengapa di atas tadi tidak sedingin ini. Dia hanya membalasnya dengan senyuman dan megajakku bertemu salah seorang pemuka agama. Setelah menemui orang itu, Kang Widodo menjabarkan bahwa di dalam diriku terdapat api yang begitu besar, di Gunung Padang orang-orang seperti aku pasti akan nyaman dan betah serta cocok untuk tinggal. Karena, energi yang ada di atas mampu meredam kobaran api bukan mematikannya.

Aku terheran, setengah tak percaya. Tapi, apapun itu, aku bersyukur bisa berkelana ke zaman megalitikum bersama mereka. Aku tidak percaya bisa menempuh jarak yang tak pendek untuk mencapainya, dan berhasil dengan baik.

Sinar matahari membangunkan tidurku, dan bergegas untuk pulang ke Jakarta lewat Bandung Kota. Perjalanan 165KM kembali akan aku hadapi. Sebelum beranjak, aku berpamitan dengan Gunung Padang dan beberapa kawan baru yang kutemui di sana. Kang Widodo, memberi bekal air keramat kepadaku untuk dapat diminum selama perjalanan. Air yang konon memiliki jutaan manfaat, dengan kandungan mineral tinggi hasil dari batuan endesit zaman purbakala.

"Minum air ini, teteh pasti kangen ke sini lagi. Semoga selamat sampai tujuan ya Teh," kata Kang Widodo.

"Nuhun A. Mohon doanya ya, biar aku sehat, bisa balik lagi ke sini, sejahtera dunia akhirat.","Amin," jawabnya lugas.

Sesampainya di Kota Bandung, aku ditampakkan lagi beragam keanehan. Salah satunya ada anak kecil yang meminta gendong saat aku sedang keberatan membawa barang bawaan. Dia menangis histeris dan merengek di hadapanku. Seorang pria tua meminta rokok yang sedang aku hisap nyawanya, dan motor jatuh saat hampir menabrakku.


Selayang pandang

Masyarakat setempat mempercayai bahwa situs purbakala Gunung Padang merupakan tempat Prabu Siliwangi, Raja Sunda yang berusaha membangun istana dalam semalam dan telah dikeramatkan oleh warga sekitar. Penemuan harta kekayaan Indonesia ini, oleh seorang sejarawan asal Belanda N.J Krom pada tahun 1949 sebelumnya keberadaan situs ini juga pernah dimuat pada ROD semacam buletin dinas kepurbakalaan pada tahun 1914.

Bangunan di bawah permukaan situs Gunung Padang dianggap lebih tua dari Piramida di Giza hal itu dibuktikan secara ilmiah pada hasil pengujian karbon dating laboratorium BATAN (Indonesia) denan metoda SC. C14 dari material paleosoil ke dalaman -4 meter pada lokasi bor coring. Hasil yang tak kalah mengejutkan adalah keluarnya hasil laboratorium Beta Analytic Miami, Florida yang mengatakan bahwa sekitar kedalaman lima meter sampai 12 meter pada bor 2 ditemukan situs yang usianya 14500-23000 sebelum masehi. (Wikipedia)


Tempat wisata lainnya yang wajib dikunjungi saat berada di Bandung, Jawa Barat adalah Guha Pawon. Di sini penikmat keindahan alam ...



Tempat wisata lainnya yang wajib dikunjungi saat berada di Bandung, Jawa Barat adalah Guha Pawon. Di sini penikmat keindahan alam akan merasakan denyut nadi manusia Pasundan pertama zaman purbakala yang tinggal di Kota Kembang.

Perjalanan saya selanjutnya adalah ke tempat situs purbakala Gua Pawon yang terkenal di Kota Bandung, tepatnya di daerah Raja Mandala, Cimahi, Bandung Barat, Jawa Barat. Semula, saya ingin ke Danau Situ Ciburuy yang jaraknya dekat dengan Bandung Kota dan tidak berniat ke tempat ini. Setelah bertanya kepada mamang tukang Nasi Kuning pinggir jalan mengenai arah jalan menuju Situ Ciburuy, dia menyarankan sebaiknya mampir ke Guha Pawon, karena saat ini Situ Ciburuy sudah tak seindah dahulu. Menurutnya, jika saya ke Guha Pawon, tidak hanya pemandangan indah yang bakal saya dapatkan melainkan ilmu pengetahuan baru tentang sejarah zaman purbakala yang ada di Bandung.

Tanpa berpikir panjang, saya akhirnya mengikuti arahannya. Perjalanan dari warung si mamang ke Gua Pawon hanya sekitar 45 menit dan tepat pukul 09.00 WIB saya tiba di lokasi. Pada saat itu, belum ada pengunjung yang datang, mungkin bisa dibilang saya tamu pertama yang tiba di sana. Sambil menunggu tamu lainnya datang dari tempat parkiran motor saya membaca artike yang tertera di papan informasi untuk mengetahui sejarah Gua Pawon itu. 

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada seorang pria berkulit hitam menghampiri saya dan baru membuka pintu masuk Guha Pawon sambil memegang sapu lidi yang diselipkan di ketiaknya. Lantas, pria itu langsung mempersilahkan saya untuk masuk ke dalam gua,"sendirian aja, neng? enggak sama teman?," tanyanya. "Tidak 'A, saya memang hobi ngebolang sendirian," jawabku sambil tersenyum kepadanya.

Dia menyarankan, sebaiknya datang ke Gua Pawon pada saat matahari terbenam. Sebab, siang hari tidak begitu bagus, banyak aktivitas pabrik yang merusak pemandangan serta hawa panas akan membakar tubuh kita. Selain itu, di sore hari dari atas gua mata kita akan dimanjakan dengan hamparan keindahan panorama alam Bandung Barat dan bisa mampir ke Stone Garden mirip Stonehenge di luar negeri.

Sambil berjalan menuju ke dalam gua, selang beberapa menit tamu baru dari Bandung datang. Beruntung ada teman yang akan masuk ke dalam gua, karena saya agak khawatir, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika sendirian di dalam gua. 

Kami akhirnya berkenalan. Sepasang pemuda-pemudi itu merupakan aktivitis peduli situs purbakala. Dia menceritakan berbagai aktivitasnya kepada saya, meminta saya untuk turut serta menjaga kearifan lokal terutama situs-situs purbakala yang saat ini tidak mendapatkan perhatian penuh oleh pemerintah.

Setelah berbincang panjang lebar sambil berjalan ke dalam goa, tibalah saya di pintu utama Gua Pawon. Karena saya penakut, akhirnya mempersilahkan meraka untuk masuk duluan. 

Tiga meter dari mulut Gua Pawon, aroma tak sedap langsung menyergap alat penciuman saya. Baunya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, mungkin seperti ini kalimat yang tepat untuk menjelaskan aroma yang saya cium ketika masuk Gua Pawon ; bau air kencing ditambah bau kotoran tikus yang sudah lama di dalam air dengan lumut hijau lembab, begitulah, bayangkan sendiri.

Tetapi, bau tak sedap itu lantas hilang saat melihat batuan besar dengan tekstur yang tak beraturan seperti karang di dasar lautan. Gua Pawon tidak seperti gua-gua lain, yang letaknya di dalam perut bumi. Untuk mencapainya, kita harus menaiki sekira 50 lebih step ladder yang telah disediakan oleh masyarakat. Sebab Gua Pawon merupakan sebuah gunung besar yang terbuat dari batuan alam, 600 meter di atas permukaan laut.

Untuk melihat keindahan panorama batuan fosfat dan kapur itu, kita harus sedikit bersabar. Di samping karena baunya yang kurang sedap, kita juga harus merunduk-runduk untuk dapat masuk ke dalam gua. Namun setelahnya, Anda akan leluasa berdiri tegak sambil melihat puluhan kelelawar beterbangan ke sana kemari dan bisa memandangi Desa Citatah dari atas.


Menurut cerita penduduk setempat, Gua Pawon merupakan jantungnya Jawa Barat atau dengan kata lain sejarah Pasundan berasal dari gua ini. Sebab, di Gua Pawon untuk pertama kalinya ditemukan kerangka manusia purba yang diyakini merupakan orang Sunda pertama di Jawa Barat.

Kalau kata teman baru saya itu, dulunya Bandung merupakan laut besar dan Gua Pawon ini merupakan salah satu coral terbesarnya. Jika dilihat dari bentuk batunya, memang seperti karang di laut, kemudian dia menjelaskan lagi bahwa di sini tempat singgah manusia-manusia purba zaman Megalitikum.

Untuk memastikan ucapannya, saya akhirnya mencari tahu lewat dunia maya ihwal Guha Pawon. Disitat dari laman Sebandung.com, saya mendapatkan jawaban ilmiah berdasarkan penelitian ahli sejarah.

"Berdasarkan hasil survey G.H.R. Von Koenigswald dan A.C. De Yong yang dilakukan dari tahun 1930 hingga 1935 diasumsikan letak gua ini ada di tepi Danau Bandung Purba. Di sini juga banyak ditemukan berbagai peralatan zaman purba yang terbuat dari bahan kalsidon, obsidian, rijang, kwarsit, dan andesit yang berbentuk gelang batu, anak panah, penyerut, pisau, dan batu asah yang berasal dari zaman Preneolitik. Di gua ini juga banya ditemukan berbagai artefak zaman purbakala seperti gerabak, alat perhiasan, spatula, dan sebagainya. Pada zaman ini manusia sudah mulai hidup secara menetap di ceruk atau gua-gua di perbukitan."

Tidak hanya itu, Guha Pawon juga ada kaitannya dengan mitologi Sangkuriang. Di ruang utama Gua Pawon, warga meyakini sebagai tempat memasak atau dapurnya Dayang Sumbi, ibunda dari Sangkuriang. Dahulu kala, Ibu Dewi Dayang Sumbi sering membuatkan makanan untuk suaminya Tumang dan Sangkuriang di tempat tersebut. Percaya atau tidak, itu urusan belakangan yang penting bisa datang dan menyaksikan keajaiban ciptaan Tuhan, sudah cukup.


Puas melihat bagian tengah Guha yang besar dan dipenuhi kelelawar itu, saya akhirnya mendaki ke atas Gua, di mana terdapat artefak manusia purba-tiruan, yang asli sudah diamankan di museum-dan ditutupi pagar besi oleh pihak pengelola. Artefak itu dipercaya sebagai manusia pasundan pertama yang ada di Jawa Barat.

Tepat di depan ruang artefak itu, terdapat ruang sedikit lebar dengan batuan yang menjulang ke langit. Jika memiliki jiwa pemberani, Anda bisa memanjat batunya untuk dapat menjelajahi gua berikutnya dan menyaksikan pemandangan pabrik-pabrik batu kapur di sekelilingnya.

Teman baru saya itu menceritakan, bahwa Gua Pawon ini diambang kehancuran. Pasalnya, pabrik-pabrik batu alam telah menghancurkan tebing-tebing serta pegunungan di kiri dan kanan gua, untuk mengambil kapur dan batuan lainnya. Miris, melihat situs zaman purbakala yang sudah tak terawat ditambah lagi dengan adanya pengerukan batu yang mengancam Gua Pawon.

Jika pemerintah kota Bandung, perhatian dengan situs purbakala ini, tentunya tidak akan ada lagi pabrik-pabrik yang menggerus batuan alam dan para peminat sejarah dari berbagai daerah akan datang untuk ikut melestarikan Gua Pawon. Saya beruntung bisa melihat langsung tempat ini, mungkin sepuluh tahun yang akan datang, Gua Pawon sudah rata dengan tanah, karena telah dimakan oleh kerakusan pengusaha batu alam dengan menjadikan batuannya sebagai mata pencaharian. 

Saya rasa, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan harus segera bertindak cepat menyelamatkan peninggalan zaman Megalitikum itu, agar tidak hancur dikeruk batunya oleh para pengusaha. 

Ditambah lagi, tidak adanya penjagaan ketat di seputar lokasi oleh penduduk sekitar. Bisa jadi, banyak orang yang datang usil menggali tanah yang berada di dalam gua tersebut dan mendapatkan barang berharga peninggalan zaman purba tanpa memberitahu pemerintah setempat, ini akan membahayakan bagi perkembangan sejarah purbakala ke depan. Sebab, ahli sejarah atau peneliti sejarah belum banyak melakukan eksavasi di Gua Pawon.



Perjalanan menuju Gua Pawon

Tidak sulit untuk menuju lokasi Gua Pawon. Dari Bandung Kota, kita dapat mengambil akses menuju Cimahi, Padalarang hingga Jalan Raja Mandala sampai ke Cipatat. Jaraknya dari Bandung ke Gua Pawon hanya sekitar 25 hingga 30km dan bisa ditempuh dengan berbagai kendaraan.

Yang perlu diperhatikan adalah keselamatan saat menuju ke lokasi, apalagi bagi pengendara sepeda motor jika tidak berhati-hati akan kesenggol kontainer dan truk besar pengangkut batu karena jalannya sedikit licin karena banyak terdapat pasir dengan tekstur jalan berkelok-kelok.

Posisi Gua Pawon berada di sebelah kanan dari arah Bandung. Terdapat gapura besar bertuliskan "Gua Pawon" sebagai petunjuk arah menuju situs purbakala itu.

Dari gapura itu, sekira 5 sampai 6km untuk sampai ke lokasi. Sama seperti jalan besar, jalan menuju Gua Pawon Anda akan menemui turunan, tanjakan, jalan berkerikil tajam dengan pemandangan pabrik di samping kiri dan kanannya. 


Jika Anda mengendarai mobil, tak perlu khawatir karena, aksesnya cukup bersahabat untuk kendaraan roda empat meski harus gajluk-gajlukan sepanjang jalan. Tiba di gerbang Gua Pawon terdapat area parkir yang luas, muat untuk puluhan kendaraan roda empat dan roda dua. 


Saya sarankan untuk tidak membawa makanan dan minuman ke lokasi, di samping bisa membuat kotor situs-pasti makanannya akan dibawa ke atas-serta mematikan usaha warga sekitar yang telah menyediakan kedai makan di bawah Gua Pawon. Hampir semua makanan tersedia di sana, dari makanan berat hingga makanan ringan. Jenis minumannya pun beragam, dari minuman kaleng, sampai racikan sendiri atau minuman khas Jawa Barat. 

Semoga kita yang berkunjung ke Gua Pawon mendapatkan ilmu pengetahuan baru seputar sejarah purbakala yang berada di Jawa Barat. Selain itu, bisa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa lantaran telah menciptakan keindahan alam yang begitu mengagumkan di Indonesia. 

Pelajarannya adalah agar kita dapat ikut menjaga dan melestarikan Gua Pawon dari tangan-tangan jahat. Kalau bukan kita siapa lagi?





Berada di 1442 meter di atas permukaan laut (MDPL), Bukit Moko merupakan tempat yang paling tepat untuk melihat gemintang bertebaran ...


Berada di 1442 meter di atas permukaan laut (MDPL), Bukit Moko merupakan tempat yang paling tepat untuk melihat gemintang bertebaran di langit dan juga yang tersebar di bumi.

Wisata ke Bandung, kurang afdhol jika belum mampir ke Bukit Moko. Masyarakat Kota Kembang biasanya menyebut Bukit Bintang, karena kita bisa melihat gemerlap bintang di langit dan lampu-lampu penduduk Bandung yang berwarna-warna seperti bintang.

Bagi penyuka fotografi, Bukit Moko sarana paling pas untuk menangkap momen naik dan turunnya matahari. Bulan purnama atau gerhana akan sangat dekat jika dilihat dari Bukit Moko. Apabila cuaca sedang bagus, hamparan pemandangan indah dan pegunungan yang menjulang tinggi menjadi latar belakang apik.

Waktu paling tepat ke Bukit Moko sejak pukul 15.00 WIB hingga 20.00 WIB. Selain bisa mengabadikan sunset, lampu-lampu rumah dan gedung di Bandung sedang cantik-cantiknya.

Selain menyaksikan pemandangan tersebut, mata kita juga akan dimanjakan dengan adanya pemandangan patahan Lembang yang ada di atas Bukit Moko. Untuk melihat patahan Lembang, kita harus berjalan kaki di Bukit Moko selama kurang lebih 30 sampai 45 menit atau lebih tergantung kemampuan.


Di atas Bukit Moko, kita akan disambut dengan hamparan puluhan ribu pohon pinus yang menjulang tinggi dan orang pacaran. Ops, hahaha memang benar, sebagian besar pengunjung Bukit Moko membawa pasangan, mungkin hanya saya yang pada saat datang sendirian. Pasalnya, belum sampai ke lokasi, hawa dingin sudah menelusup masuk ke dalam tulang. Saking dinginnya, rasanya tidak cukup memakai jaket, harus membawa pasangan agar tidak kedinginan di atas bukit. 

Tidak hanya orang yang berpacaran di sana, pecinta alam dan fotografi landscape dengan peralatan canggih mereka juga banyak. Mereka datang tak lain untuk camping dan mengabadikan momen sunset dan sunrise.

Mengunjungi Bukit Moko tidak seperti yang dibayangkan, harus manjat-manjat, mendaki tebing atau berjalan merayap-rayap. Di sana sudah jalanannya sudah di paving block, sehingga wisatawan dapat dengan mudah berjalan kaki dari tempat parkir ke atas bukit. Selain itu, juga sudah tersedia kamar mandi, mushalla, gasibu-gasibu dan juga tempat duduk di pinggir bukit untuk menikmati pemandangan alam Bandung.


Pada saat saya mengunjungi Bukit Moko, cuaca sedang cerah di sore hari. Namun sayang, pemandangannya kurang megah karena terhalang dengan asap kiriman dari Kalimantan dan Riau sehingga menutupi panorama puncak gunung yang tersebar di Jawa Barat dan matahari terbenam. Akhirnya saya memutuskan untuk memotret beberapa spot di dalam bukit dan hasilnya lumayan.

Meski datang sendirian, ternyata di atas Bukit saya bertemu banyak teman baru. Salah satunya, Pak Dudung ketua pengelola Bukit Moko. Perkenalan kami bermula ketika dia melihat saya sendirian duduk-duduk sambil merokok di bawah pohon pinus dekat pintu masuk. Kemudian, dia menghampiri saya untuk menawarkan diri memotret diri saya. Pak Dudung bertanya, mengapa saya datang sendirian? saya menjawabnya dengan santai, hanya ingin sendiri dan biasa ke mana-mana sendiri. 

Sepanjang di Bukit Moko saya ditemani Pak Dudung yang merupakan Kepala Desa di perkampungan Cimenyan. Dia menceritakan banyak tentang dirinya dan Bukit Moko itu sampai akhirnya menawarkan saya meminum kopi di kediamannya. 

Pak Dudung mengaku telah merawat dan melestarikan hutan pinus di atas Bukit Moko itu selama kurang lebih 20 tahun. Dengan bekerjasama dengan Perhutani dan Pemkot Bandung, alhasil Bukit Moko yang tadinya hanya hutan rimba menjadi tempat wisata. 


Setelah hampir tiga jam menghirup oksigen di Bukit Moko, saya akhirnya turun gunung dan mampir ke kedai kopi untuk makan, karena badan sudah tidak enak terlalu dingin perlu dihangatkan dengan kopi dan semangkuk mie rebus. Sekira 20 meter dari pintu masuk Bukit Moko ada sebuah kedai yang menjual makanan dengan cara voucher. Kita harus membeli voucher seharga Rp.25 ribu dan akan disajikan aneka makanan, berikut dua macam air.

Oiya, untuk masuk ke dalam Bukit Moko kita harus membayar sebesar Rp.10 ribu. Bagi yang ingin bermalam di sana, pihak pengelola menyediakan tenda berukuran besar dan kecil dari harga Rp.150 ribu hingga Rp. 250ribu. 

Mata saya dikejutkan dengan tampilan malam Bukit Moko. Makan malam terasa sangat nikmat lantaran sambil menyaksikan lampu-lampu Bandung yang satu persatu mulai menyala, dilihat dari Bukit Moko itu terlihat seperti gemerlap bintang dan sayang jika tidak diabadikan.


MENUJU Bukit Moko

Ada dua jalur menuju Bukit Moko, melewati Dago Pakar atau Jalan Padasuka. Karena saya baru pertama kali mengunjungi Bukit Moko, saya diberitahu oleh warga sekitar untuk mengambil jalan lewat Dago, di samping jalannnya sudah bagus dan lebih cepat sampai. 

Tapi ternyata, saya harus melewati jalan menuju Restoran Dago Pakar, kemudian Tebing Keraton ke atas lagi. Bukannya Bukit Moko yang saya dapatkan malah bukit gersang dan perkampungan warga. Maklum orang baru, nyasar merupakan nama tengah mereka. Akhirnya, saya bertanya kepada penduduk, seorang petani bilang lewat dua bukit lagi dengan jurang di kanan jalan.

Saya menelan ludah, karena saya sangat benci jalan turunan, berpasir dan berbatu, itu sangat berbahaya bagi yang tidak ahli membawa kendaraan roda dua manual. Hampir di setiap turunan saya meminta tolong mamang-mamang yang berada di bawah bukit untuk membantu saya menurunkan motor. 

Jalan yang saya lewati selama kurang lebih satu jam setengah itu hanya jalan setapak, dengan jurang di samping kanannya. Konon, banyak orang yang jatuh di sana jika tidak berhati-hati, mengingat jalan tersebut masih jelek penuh batu dan berpasir.

Pulangnya, saya memilih melewati Jalan Padasuka, dari Bukit Moko hanya tinggal lurus saja, tidak berkelok-kelok seperti awal mula saya mengunjungi Bukit Moko. Iya lurus saja dengan menuruni bukit, turunannya sangat curam, sedikit pencahayaan jalan, hanya lampu sorot dari kendaraan. Parahnya lagi, jalanan yang hanya berukuran 3 meter itu dua arah dan tidak ada pembatas jalan maupun penjaga jurang, jadi kalau kita tidak berhati-hati akan berbahaya.

Hikmahnya adalah, saya bisa melihat pemandangan alam Bandung yang begitu memesona. Saya diberi kesabaran yang begitu besar oleh Allah SWT dan pikiran dicerahkan bahwa setiap masalah itu pasti ada solusinya, kita mau menghadapinya atau malah balik arah atau kabur? tergantung kita. Ketika kita menghadapi masalah itu dengan baik, bersabar, ikhlas sambil meminta pertolongan kepada Allah SWT, kita akan mendapatkan kesuksesan, mendapatkan apa yang kita cita-citakan dan impikan.